JAKARTA, BALIPOST.com – Kinerja pemantauan dan pelaporan kepatuhan protokol kesehatan menjaga jarak, menggunakan masker, dan mencuci tangan (3M) di daerah mengalami penurunan. Hal ini diutarakan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Prof. Wiku Adisasmito, Kamis (4/8).
Ia mengatakan beberapa bulan terakhir, jumlah daerah yang melapor semakin berkurang. Hanya 17 dari 34 provinsi melapor pada pekan terakhir (25 – 31 Juli 2022).
Lalu, kepatuhan memakai masker cenderung lebih rendah daripada menjaga jarak. Dari 17 provinsi yang melapor pada pekan terakhir, sekitar 40% kelurahan/desa tidak patuh memakai masker. Sedangkan hanya sekitar 20% kelurahan/desa tidak patuh menjaga jarak.
Dari 5 provinsi dengan kasus tertinggi, nyatanya memiliki tingkat kepatuhan protokol kesehatan yang harus dievaluasi kembali. Dimana salah satunya yang terendah yaitu Provinsi Jawa Barat dengan angka kepatuhan memakai masker dan menjaga jarak di bawah 20%.
“Saya berharap kedepannya baik masyarakat maupun aparat setempat yang berkewajiban mengawasi kedisiplinan protokol kesehatan, agar sama-sama kembali membangun dan mengkonsistenkan atmosfer yang kembali patuh, taat, dan tidak menyepelekan,” pesan Wiku.
Wiku mengingatkan kembali masyarakat pentingnya perilaku mencegah COVID-19 dalam setiap aktivitas. Dikarenakan, belakangan ini kasus COVID-19 kembali meningkat, baik di dalam negeri maupun di berbagai belahan dunia.
“Di tengah kondisi kasus yang kembali dinamis dalam beberapa minggu terakhir, COVID-19 mengingatkan kita kembali pentingnya konsisten mengendalikan peluang penularan secara bersama-sama,” kata Wiku.
Protokol kesehatan seperti 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) harusnya menjadi perilaku keseharian dan sebagai bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam situasi pandemi COVID-19. Namun, hasil pantauan kepatuhan secara nasional menunjukkan kecenderungan sikap “setengah disiplin” dalam menjalankan 3M. Seperti hanya menjalankan 1 atau 2 aspek saja dari 3 aspek yang seharusnya tidak terpisahkan dari 3M.
Dan penting diingat, walau COVID-19 dapat disembuhkan, namun dengan upaya pencegahan jauh lebih baik dibandingkan harus mengobati. Karena apabila terkena COVID-19, maka kualitas hidup akan berkurang dan menghambat aktivitas. Selain itu, juga berpotensi tinggi menularkan orang lain, serta berdampak jangka panjang atau long covid di kemudian hari.
Perlu diperhatikan, beberapa penelitian sepakat jika kasus COVID-19 tidak terus ditekan, maka beban kesehatan masyarakat kedepannya semakin berat. Studi juga menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah kebutuhan kontrol medis lanjutan ke rumah sakit akibat gangguan kesehatan paska sembuh dari COVID-19. Dan potensi lebih besar jika sebelumnya pasien memiliki riwayat gangguan kesehatan mental.
“Jika tidak ditekan kondisi ini, maka akan berpotensi mengganggu kualitas hidup perseorangan,” imbuh Wiku.
Untuk itu, masyarakat perlu menguatkan kembali 12 upaya PHBS sebagai dasar untuk membentuk kondisi kesehatan masyarakat jangka panjang. Baik saat pandemi atau tidak. Diantaranya, mencuci tangan, memakai masker, menghindari kerumunan, menghindari bersentuhan, rutin desinfeksi, tidak keluar rumah saat sakit, mengkonsumsi makanan sehat, hindari menyentuh wajah, aktif secara aktif, minum cukup air, menjaga kesehatan mental, dan tidur cukup.
Menerapkan, gaya hidup bersih dan sehat adalah budaya yang tidak mengenal batasan waktu, harus dijalankan dengan konsisten dan sempurna untuk sepenuhnya terjaga. Munculnya beberapa penyakit baru maupun yang sudah ada sebelumnya, patut menjadi refleksi pentingnya membudayakan PHBS dalam berbagai aktivitas.
Selain itu, saat ini banyak negara melonjak lagi kasusnya akibat mandat pembebas masker, maupun munculnya fenomena seperti COVID-19 rebound (muncul kembalinya gejala setelah sembuh). Hal ini menjadi pelajaran bagi Pemerintah untuk kedepannya terus berupaya menyesuaikan berbagai kebijakan penanganan. Agar tetap adaptif baik dengan membaca data, mengobservasi fakta, dan menelaah studi ilmiah. (kmb/balipost)
Credit: Source link