Doa Cak Imin untuk Indonesia
Jakarta – Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dikenal sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Saat ini, Cak Imin menjadi sorotan ketika mendapat dukungan dari sejumlah elemen masyarakat untuk maju di Pilpres 2019.
Siapa dan bagaimana sebetulnya sepak terjang Cak Imin dalam perpolitikan nasional?
Bisa dibilang, dunia politik sudah mendarah daging bagi pria kelahiran Jombang 24 September 1966 itu. Cak Imin merupakan keturunan KH Bisri Syansuri, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pengasuh pondok pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.
Bisri yang tak lain adalah kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid. Sementara, ayah Cak Imin adalah Muhammad Iskandar, guru di pondok pesantren Manbaul Ma’arif, Jombang.
Cak Imin sudah mengenal dunia politik sejak dini meski secara tak langsung. Ia menyaksikan aktivitas kakek buyut, kakek dan ayahnya di NU. “Sebenarnya dunia politik adalah bagian yang tak terpisahkan dari keluarga besar saya,” kata Cak Imin.
Menginjak usia remaja, Cak Imin mulai terlibat dalam diskusi mengenai politik sejak duduk di Madrasah Tsanawiyah Negeri Denanyar, Jombang. “Saya mulai mengenal dan merasakan bagaimana kekuasaan Orde Baru yang represif,” katanya.
Pada awal dekade 80, rezim Orba melarang perkumpulan, diskusi maupun pengajian yang bisa membahayakan kedudukan Soeharto. Aparat Kodim (Komando Distrik Militer) dan kepolisian turun langsung ke desa untuk melarang masyarakat berdiskusi mengenai politik.
“Saya menyaksikan langsung bagaimana ayah saya dilarang melakukan pengajian,” kisahnya.
Saat duduk di kelas dua Tsanawiyah, Cak Imin dan kawan sekelasnya mendiskusikan perihal kekayaan Soeharto saat pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). “Satu kelas dipanggil ke Kodim dan diinterogasi,” terangnya.
Kaum nahdliyin mengalami intimidasi karena NU bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Rezim Orde Baru berusaha memarjinalisasi NU. “Pokoknya semua harus Golkar,” kata Panglima Santri itu.
Pada 1984, NU memutuskan keluar dari dunia politik dan kembali ke khittah sebagai organisasi kemasyarakatan. Keputusan itu diambil untuk menghindari tekanan lebih keras dari rezim Soeharto kepada NU.
Bertepatan dengan itu, Ia pindah ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri I yang setingkat dengan SMA. Di kota pelajar ini, Cak Imin semakin mengenal dunia politik lewat berbagai diskusi yang diikutinya.
Lulus dari Aliyah tahun 1985, Cak Imin masuk Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) kini Universitas Islam Negeri dan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Meski sudah mengenal politik lebih mendalam, Cak Imin belum ingin ke politik praktis.
“Gerakan politik yang saya pilih bersama teman-teman mahasiswa lainnya adalah gerakan pemikiran lewat kelompok diskusi, demonstrasi di jalan-jalan, dan gerakan terjun ke masyarakat langsung yang menjadi embrio dari LSM (lembaga swadaya masyarakat),” jelas Muhaimin.
Cak Imin menyelami gerakan “politik pemberdayaan” sampai 1987. Setelah itu, dia memasuki dunia ormas dengan bergabung ke dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dengan masuk ormas, Cak Imin hendak memperluas jaringan berikut mengubah orientasi organisasi pemuda.
Setelah terpilih menjadi ketua cabang PMII Yogyakarta, lalu Cak Imin masuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), organisasi induk ormas bidang kepemudaan. Di KNPI Yogyakarta, Ia menduduki posisi wakil ketua. Keterlibatan di KNPI membawanya mengenal Tjahjo Kumolo yang kini menjadi politisi PDIP. Saat itu, Tjahjo adalah ketua umum KNPI Pusat.
“Ketika sudah masuk KNPI, saya lalu mencetuskan pembubaran KNPI dalam rangka kritik monoloyalitas dan penyeragaman. Sebenarnya KNPI tidak salah, hanya kehilangan orientasi saja karena tidak memiliki kemampuan kritik, hanya memiliki kemampuan mengoordinasi,” jelasnya.
Di Yogyakarta juga, Cak Imin mengenal pertama kali sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY masih berpangkat perwira menengah mulai membicarakan pergeseran paradigma TNI.
“Sementara saya menelurkan pergeseran paradigma gerakan mahasiswa dan pemuda di Yogyakarta,” katanya.
Pada 1991, Muhaimin merampungkan studi di UGM dan hijrah ke Jakarta. Bersama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Imin mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama Lembaga Pendapat Umum (LPU).
“Ya semacam lembaga analisis perkembangan. Kita membentuk lembaga itu jauh sebelum menjamurnya lembaga-lembaga kajian di beberapa tempat,” katanya.
Bersamaan dengan itu, Cak Imin terlibat dalam ForumDemokrasi yang dipimpin Gus Dur. Forum ini gencar melancarkan kritik terhadap rezim Soeharto. Pada tahun 1995, Cak Imin bergabung dengan Erros Djarot menerbitkan Tabloid Detik dan menduduki posisi sebagai kepala penelitian dan pengembangan (Litbang).
Namun, Tabloid ini tak berumur panjang. Lantaran sangat keras mengkritik pemerintah, Detik dibreidel. Cak Imin dan kawan-kawan berunjuk rasa di depan Istana memprotes pembreidelan tersebut. Unjuk rasa itu dibubarkan paksa. “Saya beruntung tidak kena pukul aparat,” ujarnya.
Cak Imin kembali ke jalur politik ormas ketika terpilih menjadi ketua umum Pengurus Besar PMII. Pada masa kepemimpinannya (1994-1997), Indonesia tengah memasuki masa-masa kritis. Aksi penolakan terhadap sistem pemerintah Soeharto yang otoriter dan represif makin keras.
Puncaknya terjadi pada Mei 1998. Reformasi meletus. Aksi people power yang dilakukan mahasiswa berhasil membuat Soeharto memutuskan mundur dari kursi presiden. Rezim Orde Baru runtuh. Pintu ke arah demokrasi menjadi terbuka.
Presiden BJ Habibie yang meneruskan tongkat estafet pemerintahan dari Soeharto memutuskan menggelar pemilihan umum (Pemilu) pada 1999. Partai politik mulai bermunculan.
“Nah, saya mulai masuk politik praktis ketika ditunjuk oleh Pengurus Besar NU untuk merumuskan konsep mengenai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Saya menyusun anggaran dasar/anggaran rumah tangga dan membangun pondasi,” kata Cak Imin yang mewakili unsur PMII.
Kala itu, Cak Imin tak pernah terpikir akan menduduki jabatann tertentu di partai yang tengah dibangunnya.
“Saya bergabung saja. Mengikuti pertemuan di Semarang, Kalimantan dan beberapa daerah. Ketika deklarasi, Gus Dur memanggil saya untuk menjadi sekjen mendampingi Pak Matori Abdul Djalil yang diangkat menjadi ketua umum. Kemungkinan saya ditunjuk menjadi sekjen jareba selama ini saya yang menyusun semua termasuk menyempurnakan logo,” terangnya.
“Alhamdulillah saya masuk kekuasaan politik praktis saat sudah ‘merdeka’. Sudah era demokrasi.”
PKB yang didukung NU memperoleh suara signifikan pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di alam demokrasi. Cak Imin yang menjadi caleg dari daerah pemilihan Surabaya-Sidoarjo melenggang ke Senayan.
Lalu, Cak Imin ditunjuk sebagai ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang pertama. Selang beberapa minggu kemudian, Ia sudah memasuki jajaran pimpinan DPR. Itu menjadi wakil ketua DPR mewakili FKB.
“Saya menjadi wakil ketua DPR dan ketua fraksi pada usia 32 tahun. Jadi saya ketua fraksi termuda dan pejabat tinggi negara termuda. Tidak ada menteri-menteri saat itu yang semuda saya,” katanya. Dan hingga kini, rekor sebagai wakil ketua DPR termuda belum terpecahkan.
Pada 2004, pemilihan pimpinan DPR berlangsung dengan sistem paket. Cak Imin satu paket dengan Agung Laksono (Golkar), Soetardjo Soerjogoeritno (PDIP), dan Zaenal Ma’arif (PBR). Paket yang diusung Koalisi Kebangsaan itu mengalahkan paket yang dijagokan Koalisi Kerakyatan.
Alhasil, Cak Imin bisa kembali menempati posisi wakil ketua DPR hingga 2009. Dalam kabinet SBY pasca kemenangan 2009, Cak Imin dipercaya menjadi Menakertrans dalam usia 43 tahun
Dunia politik yang telah diarungi Cak Imin selama tiga dekade terakhir telah melabuhkannya pada dua posisi terhormat, yakni wakil ketua DPR, ketua umum PKB dan Menakertrans. Wajah politik keras yang pernah dikenal Cak Imin telah berubah wujud menjadi “ramah” terhadapnya. Dan Cak Imin optimistis metaformosis politik itu juga akan membawa kemajuan bagi bangsa ini.
Saat ini, Cak Imin mendapat dukungan dari sejumlah elemen masyarakat untuk maju di Pilpres 2019. Sejumlah pakar politik menilai Cak Imin berpotensi untuk mendampingi Presiden Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.
Dewan Syura DPP PKB Maman Imanulhaq mengaku, sepak terjang Cak Imin dalam dunia politik sudah cukup matang dan layak untuk maju di Pilpres 2019 nanti.
“Karier perpolitikan Cak Imin sudah sempurna, (Cak Imin) dia pernah menjadi pimpinan DPR, pernah menjadi menteri dan memimpin partai besar,” kata Maman. [Berbagai Sumber]
TAGS : Pilpres 2019 Presiden Jokowi Cawapres Muhaimin Iskandar
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/28536/Kisah-Politik-Cak-Imin/