JawaPos.com – Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan tidak masuknya Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Koalisi menduga, pemerintah dan DPR tidak serius ingin melakukan revisi UU ITE.
“Koalisi meminta masyarakat untuk tidak surut mendorong revisi total UU ITE. Karena ini prioritas penting untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan siber di Indonesia, serta menegakkan keadilan,” kata Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto dalam keterangannya, Rabu (10/3).
Padahal pada Selasa (9/3) kemarin, sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil telah memenuhi undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dikepalai oleh Dr. Sigit Purnomo dari Kedeputian III Polhukam. Koalisi meminta Tim Kajian Polhukam RI untuk merevisi total UU ITE.
Damar menyampaikan, dalam pertemuan itu memberikan pembuktian ketidakadilan UU ITE bisa ditemukan dengan mudah oleh Tim Kajian Revisi UU ITE. Bahkan ketidakadilan dan ketidakpastian masih terjadi sampai hari ini.
“Kemarin, kami baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman yang harus berhadapan dengan Ketua KAN yang telah merampas hak-hak warga. UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar,” ujar Damar.
Damar juga menjelaskan, pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada membuat pedoman interpretasi UU ITE saja, tetapi betul-betul merevisi total 9 pasal bermasalah agar UU ITE menjadi Undang-undang yang lebih baik dalam mengatur kehidupan warga dengan kepastian hukum dan berkeadilan.
Sementara itu, peneliti LeIP Jane Tedjaseputra meminta pemerintah memberi perhatian khusus pada keberadaan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Sementara itu, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menekankan pokok permasalahan sejumlah pasal di dalam UU ITE yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir.
“Sulit untuk mengatakan persoalan utama UU ITE tidak pada perumusan delik-deliknya, khususnya untuk tindak pidana-tindak pidana konvensional yg ditarik masuk ke dalam UU ITE (cyber-enabled crime). Seperti Pasal 27 (1), 27 (3), dan 28 (2) UU ITE beserta pemberatan ancaman pidana mencapi 12 tahun yg diatur dalam pasal 36 jo 51(2) UU ITE,” ucap Erasmus.
“Tumpang tindih pengaturan, ketidaksesuaian unsur pidana, dan ancaman pidana tinggi menjadi masalah utama. Untuk itu, ICJR menyampaikan jalan utama adalah melakukan Revisi terhadap UU ITE,” tegas Erasmus.
Meski telah menghadap Kemenko Polhukam, Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan Revisi UU ITE tidak dimasukan ke dalam prolegnas prioritas 2021. Sebab, pada Selasa (9/3) sore kemarin, hanya 33 RUU Prioritas Prolegnas 2021 yang diputuskan dalam rapat badan legislasi dengan pemerintah.
“Diputuskan oleh pemerintah dan DPR bahwa Revisi UU ITE tidak termasuk yang akan dibahas tahun ini,” pungkas Erasmus.
Credit: Source link