Anggota Komisi VII DPR RI, Ramson Siagian
Jakarta, Jurnas.com – Pemerintah kembali merevisi total biaya penanganan Covid-19 kedalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dengan pertambahan anggaran dari Rp 405,1 triliun menjadi Rp 677,2 trilun.
Akibat pertambahan itu, Anggota Komisi XI DPR RI Ramson Siagian angkat bicara atas perubahan yang berlangsung sangat cepat, atau kurang dari satu bulan tersebut.
Ia mengaku kurang sependapat dengan penggunaan istilah tersebut. Menurutnya, lebih baik menggunakan istilah Stimulus Fiskal Keempat daripada istilah yang seakan-akan perekonomian saat ini sudah sangat genting. Selain itu, jika memakai istilah stimulus maka implementasinya bisa dilaksanakan dengan lebih fleksibel.
“Saya kurang sependapat dengan istilahnya, karena program pemulihan itu sama saja seperti stimulus fiskal ketiga atau keempat yang ditambah anggarannya. Saya lebih sepakat dengan istilah stimulus, kalau PEN seakan-akan ekonomi kita sudah berat dan bisa diselesaikan dengan program pemulihan. Padahal situasinya sekarang masih belum pasti, kalau pakai stimulus bisa lebih dinamis bergerak,” tegasnya kepada Parlementaria, Kamis (4/6).
Politisi Fraksi Partai Gerindrda ini menyampaikan, postur APBN Tahun 2020 sempat berubah pada awal April lalu lewat Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Saat itu defisit yang diajukan 5,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau mencapai Rp852,9 triliun. Dengan pertambahan anggaran menjadi Rp677,2 triliun tersebut, defisit APBN 2020 akan melebar mencapai 6,24 persen terhadap PDB.
Secara rinci, besaran anggaran dari program pemulihan tersebut terdiri atas alokasi anggaran untuk bidang kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, alokasi anggaran program social safety net sebesar Rp203,9 triliun, alokasi dukungan UMKM dengan nilai mencapai Rp123,46 triliun, alokasi stimulus dan insentif perpajakan Rp120,61 triliun, hingga dana talangan BUMN sebesar Rp44,57 triliun dan dukungan kementerian/lembaga mencapai Rp97,11 triliun.
“Baiknya seperti anggaran percepatan pembayaran, atau kompensasi pendapatan ke PLN dan Pertamina contohnya, itu tidak perlu masuk di anggaran PEN, karena itu adalah subsidi yang memang harus dibayar pemerintah dari APBN. Artinya ada atau tidak ada Covid-19, anggaran subsidi adalah kewajiban reguler pemerintah. Saya sudah sampaikan kepada Bu Menkeu (Sri Mulyani) mengenai ini,” imbuhnya.
Penggunaan istilah PEN, lanjut Ramson, adalah persoalan tentang bagaimana menjelaskan kepada publik.
“Harusnya kalau memang subsidi, ya sebut saja subsidi. Tetapi kalau ini sudah masuk pada program pemulihan ekonomi maka anggarannya jadi naik dari semula Rp 405 triliun menjadi Rp 641,17 trilun, dan kemarin naik lagi menjadi Rp 677,2 triliun,” jelasnya.
Meski demikian, pihaknya akan tetap mendukung jika hal tersebut akan mulai diberlakukan. Ia mengatakan, pelaksanaan implementasinya harus tetap proporsional, mana yang reguler dilaksanakan oleh pemerintah seperti subsidi, dan mana yang merupakan penanganan Covid-19.
“Program pemulihan nasional itu bagus, jangan salah ya, hanya itu dimasukkan dalam program pemulihan yang memang extraordinary atau kejadian luar biasa karena dampak Covid-19, bukan yang reguler dimasukkan kepada program ekonomi nasional. Jangan digabung, karena dengan tidak digabung maka market akan melihat kondisi ekonomi masih baik-baik saja,” tutup Ramson.
TAGS : Warta DPR Komisi XI DPR Covid-19
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin