JawaPos.com – Tahun 2020 mencatatkan peristiwa bersejarah bagi Indonesia. Pertama kalinya pemerintah membuat kebijakan hukum dengan merevisi beberapa undang-undang. Regulasi baru ini digadang-gadang dapat mendatangkan investasi masuk ke Tanah Air, yakni Omnibus Law Cipta Kerja.
Dalam perjalanan pembahasan, regulasi ini menuai banyak pro dan kontra. Hingga akhirnya, dengan langkah senyap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pandemi pada 5 Oktober 2020.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, UU Omnibus Law Cipta Kerja dibuat karena banyaknya aturan yang saling tumpang-tindih. Rumitnya aturan, kata Luhut, membuka celah pihak-pihak yang tak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi.
“Satu sama lain saling tumpang-tindih atau saling mengunci. Sehingga kita tidak bisa jalan, akibatnya korupsi tinggi dan kemudian inefisiensi juga dimana-mana,” ujarnya dalam acara diskusi secara virtual, Rabu (21/10).
Awal tercetusnya UU Omnibus Law Cipta Kerja dimulai pada Oktober 2019 saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi kembali duduk memimpin pemerintahan untuk kedua kalinya. Saat itu, Jokowi berbicara sebuah konsep hukum perundang-undangan yang diyakini dapat membawa angin segar bagi iklim investasi.
baca juga: Cerita Luhut Soal Asal Tercetusnya Ide UU Omnibus Law
Kemudian, rencana tersebut dimasukkan oleh DPR ke dalam RUU Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 pada 22 Januari 2020. Pada bulan berikutnya, DPR mengaku telah melakukan roadshow ke berbagai daerah untuk menyosialisasikan rancangan regulasi tersebut.
Pada 2 April 2020 DPR tetap menggelar rapat paripurna untuk membahas RUU Cipta Kerja meskipun badai Covid-19 sedang menerpa negeri. Pembahasan RUU tersebut sempat tertunda pada akhir bulan karena narasumber tak hadir pada Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Pada bulan berikutnya, tepatnya pada Hari Buruh Internasional berlangsung demo besar-besaran yang menolak disahkannya RUU Cipta Kerja. Tak hanya buruh, ribuan mahasiswa di berbagai wilayah ikut bersuara. Mereka khawatir regulasi baru tersebut menimbulkan dampak merugikan bagi perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja pada masa yang akan datang.
Namun, DPR dan pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa RUU sapu jagat tersebut diperlukan untuk membantu perekonomian yang tengah dihantam krisis akibat Covid-19. Meskipun Partai Demokrat menarik diri dari pembahasan RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi (Baleg), namun pembahasan RUU tersebut tetap dilanjutkan.
Pada Agustus 2020, gelombang penolakan semakin besar datang dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta elemen serikat pekerja lainnya. Aksi penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga digelar oleh kelompok buruh secara serempak di 20 provinsi di Indonesia.
Sayangnya, upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil. DPR dan pemerintah malah ngegas pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengaku, total DPR melakukan pembahasan sebanyak 64 kali rapat.
baca juga: Polisi Adang Buruh dari Luar Jakarta yang Hendak Demo di DPR
Kelompok buruh terus mengupayakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja hingga akhir September 2020. Namun, upaya tersebut sia-sia karena tak banyak berpengaruh.
Bahkan DPR bersama pemerintah menggelar rapat malam hari pada Sabtu 3 Oktober 2020. Parlemen dan pemerintah menyepakati RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat Paripurna penutupan masa sidang yang digelar Kamis, 8 Oktober 2020.
Hasil rapat tersebut diketahui oleh para buruh dan sebagian masyarakat yang menolak sehingga mereka berencana melakukan aksi mogok besar-besaran sejak tanggal 6 Oktober. Namun, di luar perkiraan DPR malah memajukan Rapat Paripurna penutupan masa sidang menjadi Senin, 5 Oktober 2020.
Pada 5 Oktober 2020, palu diketuk tanda RUU Omnnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang. Dari 9 fraksi DPR, sebanyak 6 fraksi menyetujui, 1 fraksi yaitu PAN menyetujui dengan catatan.
Sementara 2 fraksi, yaitu Demokrat dan PKS, menyatakan menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan dalam Rapat Paripurna tersebut, anggota dari Partai Demokrat melakukan aksi walk out (meninggalkan sidang).
baca juga: DPR Ngotot Sahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Demokrat Walk Out
Setelah pengesahan, polemik UU Cipta kerja berlanjut karena jumlah halaman yang terus berubah-ubah hingga kesalahan pengetikan atau typo. Kesalahan pengetikan ini menuai banyak sorotan.
Adapun perubahan naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja terjadi beberapa kali. Draf versi pertama yang diunggah di situs resmi DPR terdiri dari 1.028 halaman. Kemudian draf selanjutnya, berubah menjadi 905 halaman. Hasil revisi ini bahkan sempat disebut sebagai draf final UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Namun belakangan, draf UU Omnibus Law Cipta Kerja berubah lagi menjadi 1.052 halaman. Perubahan masih terus terjadi hingga naskah tersebut dikirim ke Presiden Jokowi, dimana jumlah halaman dari 1.052 berubah menjadi 1.035 halaman.
Hingga akhirnya versi terakhir sebanyak 812 halaman. Draf inilah yang paling naskah akhir dan telah diteken oleh Presiden Jokowi.
baca juga: Draf Omnibus Law Cipta Berubah Lagi, Kini jadi 812 Halaman
Namun, usai mendapatkan nomor legalitas yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 dan dinyatakan sudah berlaku sejak diundangkan, masih banyak pihak yang menolak. Mereka pun mengajukan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Salah satunya adalah KSPI yang saat ini mengajukan uji materiil. Nasib UU tersebut saat ini pun masih diproses di MK.
Luhut sendiri beranggapan, omnibus tersebut tidak menghilangkan aturan yang ada di undang-undang sebelumnya. Namun hanya menyelaraskan isi sejumlah undang-undang untuk menghindari tumpang-tindih.
Saat ini, turunan dari UU inipun masih terus disusun. Luhut menegaskan pemerintah akan membuka pintu lebar-lebar bagi masyarakat yang ingin memantau dan memberikan masukan dalam penyusunan peraturan pemerintah (PP) dan peratuaran Presiden (Perpres) turunan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Diwarnai Kabar Bohong
Semenjak UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, pada Senin, 5 Oktober 2020, sejumlah hoaks beredar dan memicu kegusaran publik. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun menjawab sederet informasi keliru yang begitu ramai tersebut.
Banyak hoaks yang beredar di tengah masyarakat terkait isu klaster ketenagakerjaan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja. Informasi keliru itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Kami meminta masyarakat tidak mudah percaya dengan hoaks yang sudah sangat banyak beredar terkait UU Cipta Kerja,” ujar Airlangga dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Rabu (7/10).
baca juga: Beredar Hoax Pernyataan Buya Syafii Soal UU Omnibus Law Cipta Kerja
Adapun informasi keliru yang beredar terkait UU Cipta Kerja yakni banyaknya hak-hak pekerja yang dihapuskan. Diantaranya upah minimum, pesangon bagi yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), cuti haid, cuti melahirkan, dan jam kerja para buruh, status kekaryawanan sebagai pegawai kontrak seumur hidup, serta bakal banyaknya tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke Indonesia secara bebas.
Airlangga menegaskan bahwa para pekerja mendapatkan kepastian pembayaran pesangon dan mendapat tambahan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Selain itu, di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja tertera manfaat lain bagi para pekerja yang terkena PHK.
Misalnya, peningkatan kompetensi atau up-skilling, serta akses pada kesempatan kerja yang baru. Airlangga mengatakan, mengenai waktu kerja, istirahat jam kerja, dan istirahat minggu tetap mengacu regulasi lama di Pasal 77 dan Pasal 79.
Bahkan mantan Menteri Perindustrian itu mengatakan, UU Omnibus Law Cipta Kerja juga mengatur pekerjaan yang sifatnya fleksibel atau tidak terikat dengan waktu kerja, seperti e-commerce. Masalah itu, diatur dalam perjanjian kerja sesuai aturan dalam Pasal 77.
baca juga: Motif Perempuan Ini Sebar Hoax Omnibus Law, Terancam 10 Tahun Penjara
“Kami tegaskan bahwa pengusaha wajib memberikan cuti dan waktu istirahat. Waktu ibadah, cuti haid, cuti melahirkan, waktu menyusui. kami tegaskan tidak dihapus dan tetap sesuai UU lama,” tegasnya.
Para pekerja kontrak juga dipasrikan tetap mendapat jaminan perlindungan upah dan kesejahteraan. Pergantian perusahaan outsourcing diatur dalam Pasal 66. UU Omnibus Law Cipta Kerja juga mengatur tentang kehadiran TKA. Para TKA yang masuk ke Indonesia hanya untuk jabatan tertentu, waktu tertentu, dan harus punya kompetensi tertentu.
“Kemudian, perusahaan yang mempekerjakan TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA),” tukasnya.
Credit: Source link