Liga Inggris
Oleh: Muhamad Ridlwan
(Pengamat sepakbola)
Liga Primer musim ini tak ubahnya seperti Liga Jerman. Sisa pertandingan masih cukup banyak, tapi kita sudah bisa dengan mudah menebak siapa yang bakalan juara.
Liga Inggris sudah memasuki pekan ke 27, dan masih ada 23 pertandingan lagi yang harus dilakoni. Tapi di pertengahan musim ini, Manchester City sudah meninggalkan jauh lawan-lawannya. Manchester United dan Chelsea yang di awal-awal musim digadang-gadang bisa berebut tempat teratas dengan Manchester City terpaut dengan jumlah poin yang sangat signifikan.
Untuk menggusur Mancherter City dari puncak klasemen, MU harus mengoleksi 17 poin, sementara Chelsea harus mengumpulkan 23 poin. Bagi sebagian orang, mungkin terlalu dini kalau Mourinho dan Conte memutuskan melempar handuk. Bagi pelatih sekaliber Mourinho yang terkenal ambisius, belum saatnya dia menyatakan menyerah.
Tapi di atas kertas, Mourinho seperti dipaksa memeluk gunung. Dengan segudang pengalaman yang dimilikinya, Mourinho tidak mampu meracik MU berada dalam level yang kompetitif.
Mourinho bisa dibilang cukup berhasil membenahi lini pertahanan. Jumlah kebobolan MU paling sedikit ketimbang tim-tim yang lain. MU memiliki rekor kebobolan gol hanya 19, lebih rendah satu poin dari Mancheter City.
Tapi Mourinho tidak memiliki ramuan jitu untuk memaksimalkan anak buahnya memetik angka di mulut gawang. Terlalu banyak peluang yang dibuang sia-sia. Romelu Lukaku yang sempat menjanjikan di laga-laga perdana, kini mulai melempem.
Mourinho juga gagal membesarkan pemain muda. Karakter kepelatihan Mourinho berbeda dengan pelatih pendahulunya, Sir Alex Ferguson. Di tangan Opa Fergie, banyak pemain muda yang berhasil dibesut menjadi pesebakbola yang handal. Ronaldo, David Beckham dan Ryan Giggs mengakui kalau mereka banyak berutang budi pada Opa Fergie. Poupularitas ketiga pemain ini mulai melejit ketika memperkuat MU bersama Fergie.
Kurang potensial apa pemain muda MU sekelas Marcus Rashford. Tapi Mourinho sepertinya kehilangan “sumbu panjang” untuk membesarkan namanya. Mourinho seolah kebingungan apa yang harus dia lakukan untuk menggembleng pemain muda.
Di bawah besutan Mourinho, MU tidak bisa lari kencang mengejar Manchester City. Mesin golnya tidak bekerja secara maksimal, sehingga dari satu pertandingan ke perandingan berikutnya, MU bukannya makin mendekat tapi malah makin memperlebar jarak dengan sang pemuncak klasemen.
Kondisi seperti ini tidak saja menghantui MU, tapi juga The Big Four yang lain. Inilah kenapa saya menyebut di awal tulisan bahwa Liga Inggris musim ini tidak memantik atmosfer yang kompetitif.
Selisih angka yang terlalu jauh antara peringkat pertama dengan runner up yang mencapai 16 poin mencerminkan bahwa persaingan yang ketat bukan lagi menjadi sajian utama dalam Liga Inggris.
Liga Primer turun pamornya. Dia tidak pantas lagi menyandang status sebagai ajang sepakbola paling kompetitig di dunia. Apa yang tersaji dalam Liga Inggris hingga pertengahan musim ini bukan lagi perebutan puncak klasemen tapi dominasi Manchester City atas tim yang lain.
Pihak penyelenggara gagal menyuguhkan tontonan yang seru dan penuh ketegangan dimana antara satu klub dengan klub yang lain saling salip merebut tangga juara. Apa yang terjadi di Bundesliga selama bertahun-tahun kini mulai mewabah ke Liga Inggris,
Jauh-jauh hari sebelum dimulai penyelenggaran Liga Jerman, semua orang hampir pasti menjagokan Bayern Munchen sebagai juaranya. Di Bundesliga, kita tidak perlu repot-repot membuat analisa pertandingan, toh pada akhirnya juaranya lagi-lagi jatuh ke tangan Die Roten.
Jika musim ini Manchester City terlampau sulit untuk disaingin, kita berharap musim depan Liga Inggris betul-betul menjadi perhelatan yang ketat dan penuh persaingan, dan bukan menjadi ajang dominasi.
TAGS : Liga Inggris Sepakbola
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/29080/Liga-Inggris-Tidak-Kompetitif-Lagi/