BEIJING, BALIPOST.com – Ada lima alasan kenapa pengusaha China perlu untuk berinvestasi di Indonesia dalam Indonesia-China Business Forum di Beijing.
“Ada lima alasan untuk berinvestasi di Indonesia, pertama Indonesia memiliki kondisi makro ekonomi yang stabil dan didukung dengan stabilitas keamanan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Beijing, China, dikutip dari kantor berita Antara, Selasa (26/9).
Indonesia-China Business Forum tersebut dihadiri juga oleh Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok Djauhari Oratmangung serta sekitar 250 pengusaha dari berbagai sektor.
“Kenapa harus stabil? Karena tidak ada investasi perdagangan atau prospek bisnis yang dapat dilakukan kalau suatu negara tidak stabil. Ini pekerjaan saya sebagai Gubernur BI dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menjaga stabilitas makro ekonomi,” tambah Perry.
Alasan kedua adalah karena Indonesia terus mengalami pertumbuhan ekonomi. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 5,31 persen pada 2022, dan tahun ini diprediksi mencapai 4,5 – 5,3 persen. Apa komponen yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi? Pertama karena ekspor, juga ekspor ke China dan kedua tumbuhnya pasar milenial serta dari belanja pemerintah khususnya untuk pembangunan infrastruktur,” ungkap Perry.
Menurut Perry, hal tersebut membawa kepada alasan ketiga untuk berinvestasi di Indonesia yaitu pelaksanaan reformasi struktural dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA).
“Saat ini kami sedang melakukan hilirisasi nikel dan sumber daya alam lain. Sekarang kami juga sedang mendorong pengolahan baterai lithium yang merupakan bentuk hilirisasi serta mengundang FDI (Foreign Direct Invesment) ke Indonesia,” tambah Perry.
Alasan keempat adalah adanya akselerasi digitalisasi ekonomi dan keuangan Indonesia. “Sejak 2019, Indonesia hanya memiliki 1 QR (Quick Response Code) yang adalah QR Indonesia Standard yang sekarang sudah dipakai oleh sekitar 45 ribu toko dan akan terus bertambah. Kami juga terus bekerja sama negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan sebentar lagi Filipina sehingga QRIS dapat digunakan untuk berwisata di negara-negara tersebut,” ungkap Perry.
Dengan QRIS tersebut, Perry menyebut, maka dapat memperluas pasar dan teknologi finansial (fintech) maupun “e-commerce” yang saat ini tumbuh sekitar 53 persen. “Bank Indonesia juga dalam proses untuk membangun mata uang rupiah digital,” kata Perry.
Alasan kelima adalah perintah untuk melakukan pembangunan inklusif dan berwawasan hijau atau green development. “Presiden Jokowi sudah memerintahkan kami termasuk duta besar untuk ikut berkontribusi dalam menghasilkan ekosistem ekonomi hijau dan inklusif termasuk pembangunan low carbon, pengurangan emisi dan tugas saya adalah menciptakan ekosistem ekonomi digital sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi hijau,” tambah Perry.
Perry mengakui pengerjaan pembangunan berwawasan hijau tersebut tidak mudah tapi terus diupayakan. “Kita sudah berinvestasi, tapi perlu meningkatkan lagi investasi, kita sudah berdagang tapi perlu lagi meningkatkan kerja sama,” kata Perry.
China, menurut Perry, adalah mitra dagang Indonesia terbesar dengan ekspor Indonesia ke China adalah 23 persen dari total ekspor Indonesia dan impor dari China mencapai 27 persen dari total impor Indonesia. China juga negara asal Foreign Direct Investment (FDI) kedua terbesar dan asal wisatawan asing terbesar ketiga bagi Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) investasi China ke Indonesia pada kuartal IV-2022 tercatat sebesar 3 miliar dolar AS, atau sekitar Rp45 triliun dengan kurs Rp 15.000/dolar AS
Pada 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai ekspor tertinggi ke China yakni sebesar 65,9 miliar dolar AS. Angka ini tumbuh sebesar 22,6 persen yoy jika dibandingkan 2021. Sedangkan dari sisi impor pada 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai impor dari China tertinggi kedua setelah Thailand yakni sebesar 67,7 miliar dolar AS atau naik 20,5 persen (yoy) jika dibandingkan 2021.
Selanjutnya Kementerian Perdagangan mencatat bahwa pada periode Januari-Maret 2023, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan China yakni sebesar 1,24 miliar dolar AS. Hal ini berkebalikan dengan periode yang sama pada 2022 yang mengalami defisit sebesar 2,82 miliar dolar AS.
Produk ekspor non migas utama Indonesia ke China didominasi oleh bahan bakar mineral sebesar 4,5 miliar dolar AS, lalu diikuti oleh besi dan baja sebesar 4,4 miliar dolar AS. Bahan bakar mineral memiliki porsi terbesar dengan 27,05 persen sedangkan besi dan baja menyusul dengan 26,42 persen.
Produk impor non migas utama Indonesia dari China mayoritas yakni mesin/peralatan listrik sebesar 3,7 miliar dolar AS, lalu disusul oleh mesin mekanik sebesar 3,3 miliar dolar AS. Porsi terbesar ditempati mesin/peralatan listrik dengan 24,04 persen dan mesin mekanik sebesar 21,24 persen. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link