JAKARTA, KRJOGJA.com- Di penutupan akhir tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi berada pada level 5.979, di bawah level 6.000. Secara year to date (ytd), IHSG melemah -5,09% hingga akhir tahun. Meski demikian, PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) salah satu anggota holding Indonesia Financial Group (IFG) memproyeksikan kondisi IHSG tahun 2021 tak akan seburuk kondisi IHSG pada Maret-April 2020 yang pernah menyentuh level terendah 3.937.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW, Budi Hikmat mengatakan, ada tiga indikator utama yang perlu dicermati investor dalam memasang strategi investasi di pasar finansial Indonesia pada tahun 2021.
Pertama, rotasi kelas aset yang relatif positif ke negara berkembang atas kemenangan Joe Biden sebagai Presiden AS yang baru. Biden dipercaya akan menormalisasi pengelolaan ekonomi yang lebih fokus pada penguatan infrastruktur, menekan ketimpangan kemakmuran dan kelestarian lingkungan hidup.
Biden diharapkan juga memperbaiki hubungan internasional terutama dengan para sekutu tradisional untuk lebih efektif menghadapi pertarungan hegemoni terhadap China. Ringkasnya, kemenangan Biden diyakini mengurangi daya tarik bursa saham negara maju yang selama 10 tahun terakhir menikmati outperformance terhadap negara berkembang.
Indeks saham SPX mencatat kenaikan 15,52% setelah bangkit 66,8% dari angka terendah pada 23 Maret 2020 (lihat tabel kiri). Isyarat rotasi regional global ditunjukkan oleh indeks bursa saham negara berkembang (MXAPJ) yang tahun lalu naik sekitar 20%. Tampak indeks dua negara yang melonjak seperti Sensex India 16% dan Shcomp China 13,9% yang diyakini lebih memiliki digital economy ketimbang negara berkembang lain. Cermati juga JCI (Jakarta Composite Index) telah bangkit 51,8% dari titik terendah.
Kelebihan likuiditas ditandai dengan suku bunga Libor yang terus turun hingga hanya 0,25% dan indeks dollar DXY yang melemah 7% tahun atau sekitar 13% dari titik terkuat 102,8 pada 20 Maret 2020. Bloomberg Financial Condition Index untuk Amerika Serikat (BFCIUS) adalah indikator utama untuk menunjukkan kekuatan secara umum pasar uang, fixed-income dan saham. Angkanya sudah kembali positif setelah menukik minus 6,3% pada 24 Maret 2020.
Namun, indikator dini yang paling penting adalah FRAOIS untuk mengukur tingkat ketidakpercayaan (distrust) sesama bank komersial di Amerika Serikat.
Transmisi kebijakan moneter mencakup tiga jenjang. Pertama, dari bank sentral seperti the Fed kepada perbankan komersial yang sangat cepat. Kedua, antar bank komersial terkait penggunaan kelebihan likuiditas untuk memenuhi giro wajib minimum kepada the Fed. Bank yang kekurangan dapat meminjam kepada yang mengalami kelebihan.
FRAOIS adalah spread antara bunga yang ditetapkan bank komersial satu sama lain terhadap bunga overnight the Fed. Lonjakan spread ini, seperti yang terjadi pada tanggal 13 Maret 2030 akan mempengaruhi jenjang ketiga yakni dari bank komersial kepada dunia usaha melalui kredit. Itu sebabnya kesulitan likuiditas memicu risiko kredit perusahaan (Corp risk) yang kemudian memicu penjualan aset untuk mendapatkan precautionary liquidity ini.
Terlihat indikator FRAOIS ini sudah turun bahkan lebih rendah dari posisi awal tahun 2020. Inilah yang melandasi optimisme kami bahwa keadaan sudah lebih baik. Gejolak turun naik harga saham hanya mengalami volatilitas akibat aksi ambil untung sejumlah investor tanpa mengarah kepada situasi seperti Maret 2020.
Sementara, indikator dari dalam negeri terlihat dari Currency risk rupiah cenderung menurun malah dengan potensi menguat di bawah 13.500. Harga sejumlah komoditas ekspor seperti CPO, nickel, coal dan karet juga meningkat. Sementara harga komoditas minyak masih negatif.
Dengan melihat berbagai indikator di atas, Bahana TCW, yang merupakan anak usaha dari holding BUMN asuransi dan penjaminan (Indonesia Financial Group – IFG Group) melihat investor akan terlebih dahulu masuk ke pasar obligasi (SBN). Hal ini dilandasi oleh yield obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun yang menarik di mata investor, yakni 5,89%.
Sementara, obligasi AS tenor 10 tahun hanya memiliki yield 0,93%. Sepanjang tahun 2020, indeks SBN Abtrindo mengukir total cuan 15,1% sementara IHSG minus 5,1%.
Budi menilai, kenaikan aset SBN ini menjadi prasyarat untuk keberlanjutan rally IHSG tahun 2021, yang sudah ditopang oleh penguatan daya beli, terlihat dari indikator pertumbuhan uang beredar M1.
Sementara, pertumbuhan M1 di Amerika Serikat 53,2% adalah angka tertinggi selama 60 tahun terakhir. Meski ada kecemasan peningkatan inflasi, risiko inflasi ini sementara ditahan oleh proses pengurangan utang (deleveraging) masyarakat di negara maju dan penguatan digitalisasi ekonomi.
“Dengan sejumlah indikator tersebut, kami menyarankan agar investor bisa memanfaatkan proses reflasi aset finansial dengan mengurangi alokasi kas ke pasar obligasi maupun pasar saham,” ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers.
Sementara sentimen positif yang dapat mendorong penguatan ekonomi dan pasar modal Indonesia adalah penerapan SWF (sovereign wealth fund) untuk pembiayaan infrastruktur. Budi menilai, jika implementasi SWF ini dikelola secara berkualitas, kompeten, dan prudent, maka ekonomi dan IHSG akan kembali naik.
Adapun, tahun 2021, Bahana TCW memproyeksikan IHSG akan berada pada level 6.800.
Credit: Source link