Megawati Tuturkan Asal Usul Batik hingga Bung Karno Dorong Penciptaan Batik Indonesia

Megawati Soekarnoputri. (BP/iah)

DENPASAR, BALIPOST.com – Megawati Soekarnoputri menjadi pembicara utama dalam virtual show an Exotic Journey of Nusantara, Sabtu (27/3), yang digelar KBRI Seoul. Dipantau lewat kanal YouTube KBRI Seoul dari Denpasar, Megawati bicara banyak soal asal usul batik hingga upaya Soekarno dalam mendorong penciptaan batik Indonesia.

Megawati menuturkan, penggunan sistem canting yang digunakan perajin di Indonesia tidak ada di negeri lain. Kata batik berasal dari Bahasa Jawa yaitu mbatik.

Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas di keraton untuk pakaian raja, keluarga raja dan pengikutnya. Namun kemudian di luar keraton banyak yang meniru membuat batik. “Hal ini pula yang menjadikan betapa beragamnya wastra nusantara. Saya dapat katakan hal ini karena pada zaman kerajaan, canting apalagi canting nol umumnya hanya dipakai di dalam keraton,” ujarnya.

Masyarakat di luar keraton mulai melakoni. Mulailah muncul beragam wastra nusantara melalui jenis kainnya, gambarnya, warnanya, guratannya, dan sebagainya.

Sedangkan batik keraton mudah dikenali lewat kelompok batik Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Batikpura Mangkunegaran dan Batikpura Paku alam.

Sekitar abad ke-17, motif batik didominasi bentuk hewan dan tanaman yang kemudian berkembang pada motif menyerupai awan serta relief candi. Berkembangnya kesenian batik meluas di Indonesia setelah akhir abad ke-18  atau awal abad ke-19.

Lalu pada akhir abad ke-19, muncul batik saudagar yang disebut di kalangan kerjaaan Surakarta dan Yogyakarta. Jadi batik saudagar dikenali lewat ornamennya yang dimodifikasi sesuai selera.

Pada waktu itu, batik mempunyai pakem. Tapi setelah mulai masuk nuansa, pengaruh budaya, kreativitas semakin bangkit dan melebar.

Sehingga pakem awalnya mulai berubah tapi tetap masih digunakan. Beberapa masa setelahnya, muncul desain batik khas kota pesisir utara Jawa termasuk Pekalongan dan Cirebon.

“Saat itu kita kerap mendengar armadanya Laksmana Ceng Ho dan juga jalur sutra. Desain tersebut terpengaruhi, menunjukkan adanya pengaruh dari China melalui penggunaan warna-warna cerah, bunga dan motif awan,” sebutnya.

Sepanjang sejarahnya perkembangan batik Indonesia dipengaruhi juga para pedagang asing dan juga pendatang. Beberapa sumber menyebutkan batik Indonesia mencapai puncak kreativitasnya pada 1890 hingga 1910.

Pada zaman tersebut telah muncul batik Belanda, batik China atau batik Hokokai. “Semua ini karena influence,” jelas Mega.

Sekitar 1955, Presiden Soekarno mendorong terciptanya sebuah gaya baru batik yang disebut Batik Indonesia. Bung karno menginginkan batik yang menampilkan nilai seni budaya sebagai jati diri bangsa sekaligus menyuarakan pesan persatuan Indonesia.

Pada waktu itu Soekarno meminta Ibu Sud dan Hardjonagoro Go Tik Swan yang tadinya adalah penari, menjadi pengusaha batik, untuk membuat ciri dari Batik Indonesia. Akhirnya ditemukanlah bahwa Batik Indonesia adalah perpaduan antara batik klasik dan batik pesisiran.

Perpaduan batik klasik berwarna coklat hitam dan kebiruan, sedangkan batik pesisiran yang kaya warna. Batik Indonesia dikembangkan menggunakan warna cerah. Kmudian beberapa desain baru muncul seperti cendrawasih, seruni, sandang pangan, udang, dan lainnya.

Para pengamat sejarah menyimpulkan kebangkitan batik di masa sesudah perang dimungkinkan oleh jasa tiga orang tersebut yaitu Bung karno, Hardjonagoro Go Tik Swan dan Ibu Sud. Mereka melahirkan batik Indonesia, suatu gerakan yang membawa kembali pola-pola tradisional yang hampir terlupakan dalam suatu harmoni warna yang brilian.

“Kita tahu dulu batik itu hanya disebut Batik Sogan, berwarna hitam coklat, Batik Yogyakarta berlatar putih, beda dengan Solo, Surakarta. Tapi ketika zaman Bung Karno, batik-batik itu selain makin banyaknya desain baru, juga dari sisi pewarnaan berkembang sehingga kita lihat yang namanya batik sekarang itu begitu beraneka ragam warna,” bebernya.

Bung karno menginginkan desain Batik Indonesia tersebut mencerminkan penggabungan rasa persatuan, nasionalisme, romantisme yang mampu mendukung proses national building. Arus global yang masuk semakin deras dan tidak bisa dihindari.

“Namun saya yakin dengan karakter kuat sebagai bangsa Indonesia dapat menjaga kebudayaan Nusantara, kebudayaan Indonesia seperti kita lihat bagaimana kekayaan wastra Nusantara tidak kehilangan ciri khas dan karakternya. Meski dalam perjalanannya termasuk terpengaruh, ada influence, sentuhan budaya lain. Tapi justru itulah yang menambah kekayaan wastra nusantara sebagai suatu wadah percampuran kebudayaan dunia,” tuturnya.

Dua peragawati menampilkan rancangan Samuel Wattimena dalam fashion show virtual, Sabtu (27/3). (BP/iah)

Batik menjadi warisan budaya dunia milik Indonesia setelah ditetapkan oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. UNESCO menilai sebagai identitas bangsa Indonesia dan menjadi bagian penting setiap insan Indonesia.

Selain itu, ilmu membatik yang telah diteruskan dari generasi ke generasi telah menjadikan batik sebagai bagian kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Digunakan dalam keseharian masyarakat dari zaman dulu hingga saat ini.

Pemerintah Indonesia menjadikan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional yang selalu diperingati setiap tahunnya. Menurutnya yang paling penting yaitu mengenai hak kekayaan intelektual.

Desainer kenamaan Indonesia, Samuel Wattimena. (BP/iah)

Indonesia telah memiliki perangkat peraturan nasional untuk melindungi pelaku kreatif. UU No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 40 ayat 1 tegas mengatur perlindungan hukum bagi pembuat karya seni. Perlindungan mencakup motif kontemporer yang bersifat inovatif masa kini dan bukan tradisional.

Karya-karya tersebut dilindungi karena bernilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna. Sampai kini tercatat ada 92 produk ekonomi kreatif dan budaya yang dilindungi UU No. 20 tahun 2016 mengenai Indikasi Geografis. Termasuk 8 kain tradisional Nusanntara, antara lain Tenun Geringsing Bali, Tenun Sutra Mandar Sulawesi Barat, dan Songket Silungkang, Sumbar. (Citta Maya/balipost)

Credit: Source link