Kasus yang menimpa Meiliana adalah sebuah dilemma relasi masyarakat antar-agama di Indonesia (Foto: Deutsche)
Jakarta – Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan, Selasa (21/8) menyatakan Meiliana perempuan 44 tahun itu terbukti melakukan penistaan agama karena memprotes suara azan dari masjid di lingkungan tempat tinggalnya di Tanjung Balai, Sumatra Utara, yang menurutnya terlalu keras.
Anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq termasuk yang menyayangkan keputusan majelis hakim.
Dia mengingatkan seharusnya pasal penodaan agama tidak lagi digunakan karena agama ataupun ideologi tak bisa dihina, dinista atau dinodai.
“Kita harus berani katakan, ‘Cukup, sudah cukup.’ Hukuman terhadap Ibu Meliana di Tanjung Balai adalah alarm buat kita semua. Kita harus hentikan diskriminasi dan ketidakadilan atas nama agama kepada kalangan minoritas,” katanya Kamis (23/8).
Maman Imanulhaq merupakan salah seorang tokoh yang terus mendesak dihentikannya pengunaan pasal penodaan agama. Pekan lalu, dalam South East Asia Freedom of Religion and Faith Conference (SEA ORB), konferensi soal kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Bangkok, Thailand, ia berbicara lantang tentang hal itu.
Apa yang diderita kaum Muslim Rohingya di Myanmar, menurut Maman, adalah buah dari ‘kampanye’ kebencian terhadap minoritas. Mereka diusir dari kampungnya, kini ada sekitra 700 ribu warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.
“Sebagian pengungsi Rohingya ada di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Ini semua dipicu oleh kebencian sebagaian Buddha di Myanmar terhadap warga Rohingya,” ujar dia
Pada 2009-2010, bersama tiga orang cendekiawan Muslim, termasuk Gus Dur, serta tujuh organisasi sipil, Maman menggugat pasal penodaan agama KUHP 156a ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan itu ditolak.
Pasal penodaan agama lahir di era pemerintahan Presiden Soekarno, Januari 1965. Sampai saat ini tercatat sudah ada 147 orang yang dipenjara karena dinyatakan menabark pasal itu, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama alias Ahok dan yang terakhir Meiliana.
Maman juga menyoroti mengapa kasus Meiliana sampai dibawa ranah hukum. Keluhan Meiliana soal volume pengeras suara yang mengumandangkan azan dari masjid, semestinya bisa diselesaikan secara kekeluragaan.
“Masyarakat kita kan memang majemuk. Kita hidup dalam masyarakat dengan beragam latar belakang , termasuk agamanya. Para tokoh setempat semestinya bisa mendialogkan keluhan ibu Meliana sehingga ketemu solusi,” kata Maman.
Jika semua pihak arif dalam menyikapi keluhan Meliana, tambah Maman, seharusnya masalah itu tak sampai ke meja hijau.
“Bukankah kita dikenal sebagai bangsa yang toleran? Tetapi selalu saja ada peristiwa yang membuat kita cemas dan kawatir mengenai pudarnya toleransi kita dalam berbagai jenjang kehidupan,” ujar Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar (PB) Nahdatul Ulama (NU) itu.
Vonis penjara bagi Meiliana, kata Maman, harus menyadarkan kita semua pentingnya keguyuban dan kerukukan dalam keberagaman yang merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Ke depan, setiap kali muncul ‘persoalan’ yang menyangkut masalah agama hendaknya segera dimusyawarahkan agar tak membesar.
“Intinya bagaimana kita tetap guyub dalam perbedaan. Sidang perkara seperti yang dihadapi Ibu Meliana ini tak boleh ada lagi. Ini yang terakhir,” pungkasnya.
TAGS : Meiliana Toleransi Agama Suara Adzan
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/39775/Meiliana-Divonis-Penjara-Toleransi-Kita-Memudar/