Pergerakan pasar saham nasional diperkirakan masih akan berfluktuasi tahun depan. Eskalasi perang Rusia dan Ukraina bakal memengaruhi gejolak perekonomian dunia. Meski demikian, potensi RI terdampak resesi sangat kecil.
—
INFLASI global yang tinggi menjadi faktor utama yang memengaruhi perekonomian sepanjang 2022. Sehingga mendorong The Federal Reserve (The Fed) dan mayoritas bank sentral dunia memilih bersikap hawkish. Dengan mengerek suku bunga acuan. Akibatnya, pasar keuangan bergejolak, termasuk saham.
Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee memproyeksikan, tren inflasi akan cenderung turun pada tahun depan. Meski masih di kategori cukup tinggi. Sebagian bank sentral dunia juga akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya.
Sentimen lainnya, keberlangsungan konflik Rusia dan Ukraina sangat memengaruhi pergerakan harga-harga ke depan. Tampaknya ketegangan dua negara tersebut masih akan terus berlangsung pada tahun depan. Di sisi lain, pembukaan ekonomi yang dilakukan Tiongkok menjadi sentimen positif. Mendorong supply chain (rantai pasok) global lebih berjalan.
’’Kuncinya adalah perang Ukraina-Rusia. Tapi, kalau tidak ada peningkatan eskalasi, artinya puncak inflasi sudah lewat di 2022,” kata Hans saat dihubungi Jawa Pos Jumat (9/12).
Terkait kebijakan moneter, kenaikan suku bunga acuan bank sentral dunia relatif terkendali tahun depan. Terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Rata-rata 50 sampai 100 basis poin (bps). ’’Kalau ada sesuatu yang ekstrem baru lebih tinggi. Lebih dari 100 bps,” imbuhnya.
Hans memperkirakan, kuartal II 2023 menjadi puncak kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara maju, khususnya bank sentral AS, The Fed. Kemudian cenderung flat pada kuartal III 2023. Jika inflasi bisa dikendalikan, mungkin suku bunga acuan akan turun di kuartal IV 2023.
Sejalan dengan catatan Departemen Tenaga Kerja AS yang menunjukkan nonfarm payrolls meningkat menjelang akhir kuartal IV 2022. Tingkat pengangguran Amerika Serikat juga mengalami perbaikan. Pertumbuhan upah juga dalam tren naik sejak Agustus.
’’Artinya, itu menunjukkan bahwa ekonomi AS tidak terlalu terganggu dengan kenaikan suku bunga acuan The Fed,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.
Bank Indonesia (BI) mungkin masih bisa menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps di 2023. Sehingga ada kemungkinan dana asing akan masuk ke pasar obligasi Indonesia. Dengan demikian, rupiah cenderung akan menguat.
Menurut Hans, Indonesia kecil kemungkinan mengalami resesi. Pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan masih dapat tumbuh mencapai 5,1 persen sepanjang 2023. ’’Jadi (fundamental Indonesia) cukup bagus. Amerika akan mengalami resesi kecil. Di Benua Eropa bakal mengalami resesi panjang,” bebernya.
Berdasar indikator-indikator tersebut, Hans memprediksi indeks harga saham gabungan (IHSG) berpotensi menguat 5 hingga 10 persen tahun depan. Jika ditutup di posisi 7.000 per akhir 2022, maka bisa mencapai level 7.700 sampai 7.800 pada tahun depan.
’’Indeks Indonesia cenderung tidak melemah banyak seperti indeks global selama 2022. Jadi, terbilang stabil di tahun depan. Yang jelas, kita perhatikan ini eskalasi perang (Rusia dan Ukraina),” ucapnya.
Karena itu, Hans mengimbau investor ritel tidak terlalu agresif melakukan pembelian. Sebab, saham tidak akan naik signifikan. Saham sektor komoditas energi masih akan moncer. Setidaknya sampai semester I 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi optimistis minat untuk penghimpunan dana di pasar modal masih tinggi. Bursa saham domestik juga cukup stabil terhadap berbagai sentimen pelemahan ekonomi dunia akibat lonjakan inflasi di berbagai negara. Sejalan dengan perkembangan fundamental perekonomian domestik yang kuat.
Sampai akhir November 2022, IHSG tercatat menguat sebesar 7,59 persen secara year-to-date (YtD). Dengan non-resident membukukan net buy sebesar Rp 81,49 triliun. ’’Di pipeline, masih terdapat 91 rencana penawaran umum dengan nilai sebesar Rp 96,29 triliun,” ujarnya.
PERGERAKAN IHSG SELAMA 2022
3 Januari: 6.665,30
25 Februari: 6.888,17
31 Maret: 7.071,44
28 April: 7.228,91
31 Mei: 7.148,97
30 Juni: 6.911,58
29 Juli: 6.951,12
31 Agustus: 7.178,59
30 September: 7.040,79
31 Oktober: 7.098,89
30 November: 7.081,31
9 Desember: 6.715,11
Sumber: BEI
REKOMENDASI INDEKS SEKTORAL UNGGULAN DARI HANS KWEE
– Energi
– Perbankan
– Consumer good noncyclical
– Emiten berkapitalisasi besar (Big Cap)
Credit: Source link