Menag Lukman Hakim Saifuddin
Oleh: Hersubeno Arief
Video Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang diteriaki dan diminta turun massa saat pidato di panggung Aksi Bela Palestina, Ahad (17/12) sedang viral.
Perilaku sejumlah peserta aksi tersebut, apapun alasannya tentu saja tidak dapat dibenarkan. Bagaimanapun juga kehadiran Menag dalam acara tersebut adalah representasi negara yang harus dihormati. Namun mengapa hal itu sampai harus terjadi?
Kasus Menag tadi adalah sebuah fenomena salah isu, salah orang dan salah tempat.
Salah isu. Kehadiran Menag di Aksi Bela Palestina (ABP) menunjukkan bahwa pemerintah salah memahami persoalan Palestina. Pemerintah meredusir seakan persoalan Palestina merupakan isu agama, khususnya umat Islam. Padahal pendudukan Israel di tanah Palestina adalah isu kemanusiaan yang menjadi perhatian dunia dan lintas agama.
Khusus untuk Indonesia, kemerdekaan Palestina adalah amanat konstitusi yang harus diperjuangkan, bahwa seluruh penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan.
Benar bahwa yang paling gencar menyuarakan pembebasan Masjidil Aqsa sebagai tempat suci ketiga bagi umat Islam adalah komunitas umat Islam. Benar bahwa ABP kemarin diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Namun sekali lagi, isu Palestina bukan hanya persoalan umat Islam.
Dalam bahasa ustad Abdul Shomad yang tampaknya mengutip ucapan Presiden Turki Erdogan “Untuk membela Palestina tidak perlu menjadi orang Islam. Cukup jadi manusia saja.”
Jerusalem yang diklaim dan dijadikan ibukota Israel, adalah kota suci bagi tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi).
Seharusnya yang lebih tepat hadir adalah Presiden Jokowi sendiri. Presiden Jokowi baru saja kembali dari KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Istanbul yang membahas soal sikap Presiden Trump yang secara resmi mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.
Sikap Indonesia yang disuarakan oleh Presiden Jokowi juga sangat keras dan tegas. Dibandingkan sikap negara-negara anggota OKI lainnya sikap Indonesia sangat jelas. Sikap Indonesia bisa disejajarkan dengan sikap Presiden Turki Erdogan yang menjadi tuan rumah.
Jadi seharusnya ABP adalah momentum yang tepat dan bisa dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi menjadi forum untuk menyampaikan “laporan,” apa yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk perjuangan rakyat Palestina. Dengan modal itu Jokowinya harusnya sangat pede berhadapan dengan umat.
Kalau toh Presiden masih ragu untuk hadir, maka yang paling tepat mewakilinya adalah Menlu Retno Marsudi, atau setidaknya Menkopolhukam Wiranto, bukan Menag. Selain secara tugas dan tanggung jawab lebih tepat, kehadiran Menlu bisa meminimalisir penilaian, bahwa kegiatan ABP sebagai kegiatan yang dipandang secara politis oleh pemerintah.
Pidato Menag yang menyampaikan apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khusususnya Presiden Jokowi di forum internasional untuk membela Palestina, jadi tidak nyambung. Dalam bahasa pemerintah tidak sesuai dengan tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsinya).
Salah orang. Bagi sebagian umat Islam, terutama elemen-elemen Aksi Bela Islam (ABI) yang mendominasi acara ABP, Menag Lukman dipandang sebagai figur yang kontroversial. Berbagai sikap dan cuitannya di media sosial sering menimbulkan kontroversi.
Pengakuannya terhadap agama Baha’i, memfasilitasi kegiatan Syiah di kantor Kemenag, permintaannya agar umat Islam yang menghormati orang yang tidak berpuasa, sampai keputusannya menampilkan seorang qori yang membaca Al Quran dalam langgam tembang Jawa pada peringatan Isra’ Mi’raj di Istana, banyak dipersoalkan.
Lukman juga sempat mengundang kontroversi ketika hadir menyampaikan orasi saat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberi penghargaan terhadap kelompok LGBT. Kendati mengaku tidak tau menahu soal penghargaan itu, namun kehadirannya telanjur mengundang pro kontra.
Momentumnya ABP juga berdekatan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja menolak judicial review agar para pelaku LGBT dipidanakan. Jadilah Lukman sebagai sasaran. Dia berada di waktu dan tempat yang tidak tepat.
Bagi kebanyakan massa yang hadir di ABP, Lukman adalah figur yang berdiri “di seberang.” Lukman adalah the other. Dalam konsep Jawa disebut sebagai liyan, orang lain.
Orang Betawi sering mengekspresikannya dalam kata, “Siape lu, kok tiba-tiba muncul disini?” Mereka merasa tidak nyaman, bahkan mungkin sebal. Maka muncul lah teriakan huuuu…. berkepanjangan sepanjang Lukman menyampaikan pidatonya.
Salah tempat. Hadirnya Lukman sebagai representasi pemerintah juga menunjukkan tidak pekanya Jokowi terhadap situasi kebatinan publik, mood publik, terutama kalangan muslim perkotaan. Pemerintah harusnya menyadari bahwa pembelahan yang terjadi dalam masyarakat kita pasca Pilkada DKI 2017 sangat dalam.
Jika ada sedikit waktu untuk mau melongok sebentar saja ke dunia maya, kita akan menyadari ada yang salah dengan masyarakat kita.
Pembelahan dan perkubuan dalam masyarakat kita terasa sangat dalam. Hampir semua persoalan dipermasalahkan, dijadikan bahan perdebatan, caci maki berkepanjangan.
Harus ada inisiatif dan keberanian pemerintah untuk melakukan terobosan dan berusaha membangun jembatan, agar jurang tersebut tidak kian dalam.
Andai saja kemarin Presiden Jokowi yang hadir, pasti suasananya akan lain. Syukur kalau seperti gayanya yang senang blusukan, Presiden bisa sedikit bertegur sapa, bersalaman dengan sebagian massa. Kalau toh massa ada yang tidak nyaman dengan kehadirannya, rasanya tidak mungkin ada teriakan atau permintaan untuk turun, apalagi sampai membahayakan keamanan Presiden.
Aksi Bela Islam (ABI) yang digelar GNPF dan menghadirkan jutaan orang sudah terbukti sangat aman. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Jangankan manusia, satu rumputpun tidak dibiarkan terinjak.
Suasananya benar-benar santai dan hangat. Orang saling bertegur sapa dengan senyum lebar, berbagi makanan dan minuman, kendati tidak saling mengenal.
Tanyakan bagaimana suasananya kepada para penjual makanan dan minuman, yang dagangannya selalu habis terjual diborong dan dibagi-bagikan secara gratis oleh para peserta aksi. Ini memang sebuah reuni, kangen-kangenan keluarga yang super besar. Mereka saling melepas rindu, walaupun secara personal, tidak saling mengenal.
Presiden Jokowi sendiri sebenarnya telah ikut menyaksikan ketika hadir dalam Aksi 212, dan shalat Jumat berjamaah. Ketika Jokowi menyampaikan pidatonya, massa diam dan duduk dengan tenang mendengarkan. Tidak ada teriakan atau cemoohan. Hanya harus diakui tidak ada sambutan yang antusias dari massa, karena bagi mereka Jokowi juga termasuk dalam kelompok the other, liyan.
Kehadiran Jokowi bisa diartikan ada keinginan kuat dari pemerintah untuk membangun sebuah jembatan, menimbun jurang, terlepas dari seberapa rendahnya respon massa.
Lepas dari teriakan kepada Menag, ABP kembali membuktikan bahwa untuk isu-isu yang sangat penting, umat Islam Indonesia bisa bersatu menyingkirkan berbagai perbedaan pendapat diantara mereka. Hal itu bisa menjadi modal kuat bagi bangsa Indonesia.
Sebagai warga mayoritas, apabila umat Islam bisa bersatu dan menyelesaikan berbagai persoalan bersama, maka akan selesai pulalah sebagian besar problem bangsa Indonesia.
ABP maupun reuni Alumni 212 bila dikelola dengan baik, akan menjadi sebuah potensi yang luar biasa bagi bangsa Indonesia.
TAGS : Opini Menag Reuni 212 Yerusalem
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/26515/Mengapa-Menteri-Agama-Harus-Dimusuhi/