Kelangkaan makanan membuat pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp sulit melaksanakan puasa Ramadan seperti yang mereka lakukan sediakal. (Foto: Reuters)
Dhaka – Menjaga pola hidup sehat selama Ramadan memang sangat dianjurkan, lalu apa jadinya jika situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Seperti yang menimpa 1,3 juta Rohingya saat ini. Sejak diusir dari kampung halamannya mereka sudah terbiasa lapar.
Abdul Latif pria 45 tahun, pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi Cox Bazar bersama istrinya, tiga anak dan ibu beruntung masih bisa sahur dengan nasi sahri dengan sedikit sayuran. Ia merasa “berdosa” karena tak mampu menyediakan makanan yang baik untuk putranya yang berusia 12 tahun.
Saat mengingat Ramadan di kampung halamannya di Rakhine, di pantai barat Myanmar, Latif mengatakan, “Saya selalu mengelola makanan yang layak untuk keluarga saya yang beranggotakan enam orang selama tinggal di rumah dulu. Ramadan adalah bulan yang paling penting bagi kami sebagai Muslim.”
Latif, yang merupakan petani yang makmur di Mongdu, memberi sedekah setiap tahun selama bulan Ramadhan. Kini, takdir dan nasip membuatnya bergantung pada amal orang lain.
“Saya tidak lebih baik dari seorang pengemis di sini di Bangladesh,” katanya.
Pengungsi Rohingya sudah tak punya lahan untuk bekerja, jadi terpaksa bergantung pada amal dan bantuan.
Kurangnya makanan, kondisi hidup yang sulit dan persediaan kayu bakar yang terbatas membuat para Rohingya sulit untuk menjalankan bulan puasa sama seperti sediakala.
Sementan pengunsi lainnya, Marium yang berusia 35 tahun bahkan tidak memiliki pengganjal perut untuk sahur pertama Ramadan kecuali hanya segelas air dan sederet niat.
“Di sini kita menemukan kelangkaan kayu bakar. Sebagian besar waktu, saya memasak hanya sekali sehari dan menyiapkan cukup nasi untuk dua kali sehari,” katanya.
Tetapi musim panas ini sudah tidak bisa menyimpan beras yang sudah lama dimasak dan hanya minum segelas air untuk sahurnya untuk memulai puasanya.
Suami Marium ditembak dan dibunuh oleh pasukan Myanmar September lalu, memaksanya melarikan diri ke Bangladesh dengan dua putranya dan seorang anak perempuan.
“Pada Idul Fitri yang lalu, suamiku membeli pakaian baru untuk seluruh keluarga. Kami bahkan memberikan baju baru kepada kerabat,” katanya.
Mohammad Bashar, 13, yang tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah kecil sementara di kamp Balukhali, mengatakan, “Kami memiliki musim panas yang panas di Myanmar. Saya biasanya menghabiskan waktu yang lama di kolam dengan sepupu untuk menghindari panas.” (Arab News)
TAGS : Rohingya Myanmar Bangladesh puasa sahur Ramadan
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/34702/Mengintip-Sahur-Pertama-13-Juta-Warga-Rohingya-di-Bangladesh/