Lebih dari 300 nyawa melayang akibat gempa bumi berkekuatan 5,6 skala Richter (SR) di Kabupaten Cianjur pada Senin (21/11) siang lalu. Penyebab kematiannya masih sama, reruntuhan bangunan-bangunan yang rapuh. Tidak adakah cara untuk mencegah jatuhnya korban jiwa?
—
PER Jumat (25/11) lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa gempa Cianjur telah meluluhlantakkan 56.311 rumah. Selain itu, ada 363 sekolah yang rusak. Ditambah 144 tempat ibadah, 3 fasilitas kesehatan, dan 16 kantor.
”Ini diperparah dengan realitas bahwa struktur bangunan di wilayah terdampak tidak memenuhi standar tahan gempa,” ungkap Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati kepada Jawa Pos kemarin (26/11).
Area permukiman, tambah Dwikorita, memang berdiri di atas tanah aluvial lunak dan koluvial yang jenuh air akibat hujan. Kondisi itu memicu resonansi gelombang gempa sehingga dampak getarannya makin parah. Riwayatnya, area tersebut memang beberapa kali dilanda gempa. Dalam hitungan siklus, menurut dia, gempa bisa berulang dalam kurun dua dekade.
Selain edukasi kebencanaan yang terus-menerus dan berkelanjutan, Dwikorita menegaskan bahwa tata ruang dan wilayah di lokasi rawan bencana harus benar-benar dievaluasi. Aspek keadaan alam yang menjadi salah satu faktor penting dalam tata ruang dan wilayah juga harus diperhatikan. Jangan sampai ada permukiman atau infrastruktur penting yang dibangun di jalur patahan aktif.
Arsitek Yu Sing menegaskan bahwa hidup di wilayah rawan bencana memang harus dibarengi dengan kewaspadaan. Sebenarnya, soal bangunan, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mewariskan ilmu mereka lewat struktur rumah adat. Tidak hanya beragam bentuknya, tapi juga bervariasi bahan bakunya. Itu karena disesuaikan dengan kondisi alam dan ancamannya.
Sebelum membangun atau memilih rumah tinggal di suatu wilayah, masyarakat wajib mengenali risikonya. ”Lalu pikirkan adaptasi yang dilakukan seperti apa,” ujar Yu Sing saat dihubungi Jawa Pos pada Rabu (23/11) lalu.
Di wilayah dengan risiko gempa tinggi, Yu Sing menyarankan pembangunan rumah dengan menggunakan bahan alami seperti kayu atau bambu. Namun, tentu saja industri harus memberikan dukungan lewat pengolahan bahan-bahan itu agar awet. Dia tidak sepakat dengan anggapan pemerintah tentang rumah dari bahan alami yang tidak layak huni. Sedangkan untuk membangun rumah layak huni yang berdinding beton, dibutuhkan biaya besar.
”Sebenarnya bisa menggunakan dinding bambu plester,” kata Yu Sing. Lebih lanjut, founder Studio Akanoma itu menerangkan bahwa dinding yang dia maksud punya penampang seperti tembok beton. Namun, strukturnya terbuat dari rangka kayu atau bambu atau besi hollow. Tulangannya terbuat dari kawat anyam atau anyaman bambu. Setelah itu diplester setebal 3 sampai 4 sentimeter agar terlihat rapi.
Lalu bagaimana dengan rumah-rumah yang telanjur berdiri? Yu Sing menyarankan untuk melakukan sedikit renovasi dengan menambahkan ferosemen. Yakni dengan melapisi anyaman kawat pada dua sisi bata. Setelah itu diplester dengan adonan semen. Teknik tersebut lebih mudah dan murah ketimbang menambahkan tulangan kolom atau balok beton pada bangunan. Teknik itu telah diujicobakan oleh Teddy Boen, akademisi Teknik Sipil ITB.
Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi BNPB Abdul Muhari mengungkapkan, selain membangun kembali rumah-rumah wilayah terdampak untuk menjadi tahan gempa, perlu juga memperhatikan kondisi bangunan lainnya. Yakni sekitar 50 juta bangunan eksis yang tidak diketahui statusnya. Apakah bangunan-bangunan itu tahan gempa atau tidak.
”Jadi, ke depan, yang harus kita dahulukan adalah penguatan bangunan yang sudah ada,” jelasnya. Kini BNPB mulai mengumpulkan hasil riset terapan tentang bangunan tahan gempa. Selanjutnya, BNPB akan mereplikasinya agar segera bisa diujicobakan.
Sementara itu, penduduk Desa Wadon di Lombok Barat, yang empat tahun lalu menjadi korban gempa bumi berkekuatan 7 SR, sudah nyaman tinggal di rumah-rumah tahan gempa (RTG). Sejauh ini riko (rumah instan konvensional), rika (rumah instan kayu), dan risha (rumah instan sederhana sehat) merupakan jenis RTG yang paling diminati.
”Terserah kita mau pilih yang mana,” kata Abdul Rasyd, penghuni riko, ketika dijumpai Jawa Pos Group Lombok Post. Riko lebih mirip rumah permanen biasa. Namun, dindingnya terdiri dari batu bata setinggi 1 meter dan pada bagian atasnya dilengkapi dengan kalsibot.
Dibandingkan dua jenis populer lainnya, riko memang relatif lebih kokoh. Beberapa kali gempa melanda kawasan itu dalam kurun empat tahun terakhir. Guncangannya lebih terasa di bangunan risha dan rika. ”Mungkin karena bangunan risha dan rika dirakit menggunakan baut,” ungkap Khusnul, penghuni risha.
Risha dirakit dari beton khusus. Pengaitnya adalah baut besar. Dengan demikian, saat gempa terjadi, rumah akan mengikuti pergerakan gempa. Sedangkan rika terbuat dari kayu. Dinding rumah itu adalah perpaduan antara batu bata setinggi 1 meter dan kayu. Jika struktur bangunan dan materi dindingnya berbeda, atap seluruh bangunan RTG sama, yakni kerangka baja ringan.
Editor : Ilham Safutra
Reporter : gih/lyn/fer/c9/hep
Credit: Source link