JawaPos.com – Perlu waktu dan cara membaca yang tekun untuk memahami serat centhini yang memiliki 12 jilid. Buku ini juga sering disebut sebagai ensiklopedia budaya Jawa. Meski sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun, serat centhini masih relevan dengan kehidupan sekarang.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIY, Dwi Ratna Nurhajarini, mengatakan, salah satu yang menarik dari serat ini yaitu penggambaran Jawa dengan segala seluk-beluknya yang merdeka. Meski dibuat dalam situasai penjajahan, seperti tidak ada ketertindasan dalam mengekspresikan kehidupan masyarakat Jawa.
Merujuk pada semangat ini, BPNB DIY menggelar Jayadipuran Culture and Art III dengan tajuk Meniti Centhini. Menyajikan kajian centhini dalam bentuk pop agar masyarakat lebih mudah memahami, terutama bagi mereka yang belum akrab dengan kajian Jawa. Akan ada workshop, talkshow, dan pentas seni yang digelar secara hybrid. Untuk kegiatan luring, berlangsung pada 3 Juni 2022. Sementara tayangan daring di Youtube BPNB DIY berlangsung 9-10 Juni 2022.
“Sekarang saatnya rayakan merdeka berbudaya, dengan berbagai penampilan, talkshow, dan workshop melalui Festival Meniti Centhini,” kata Dwi dalam konferensi pers Jayadipuran Culture and Art III di Pendopo Jayadipuran, Kantor BPNB DIY, Mergangsan, Jumat (3/6).
Kurator Jayadipuran Culture and Art III, Paksi Raras Alit, mengatakan, acara-acara yang ada merupakan aktualisasi nilai-nilai yang ada dalam serat centhini. Beberapa penampilan seperti pentas seni mocopat, ketoprak, dagelan, wayang dengan cerita dewa ruci, dan lainnya.
“Tema centhini sudah lama kami impi-impikan, di Jayadipuran Culture and Art setiap tahun temanya berganti. Pertama tentang seni tradisi, kedua tentang keroncongan, dan ketiga tentang centhini. Meski banyak hal yang bisa diulas, namun kami pelan-pelan membaca makna dari centhini yang bisa kami gapai, baca, dan dapatkan,” kata Paksi.
Dosen Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada, Rudi Wiratama, mengatakan, penafsiran serat centhini tidak jarang melayang ke hal yang aneh-aneh, termasuk yang paling banyak tafsiran seksologi. Padahal banyak nilai-nilai Jawa yang relevan dalam berbagai hal, termasuk kuliner, seni, adat tradisi, dan lainnya.
Sekitar tahun 1.800, ada dua pihak yang mendokumentasikan kehidupan masyarakat Jawa. Satu pihak Inggris dan satu pihak Jawa. Dokumentasi dari Inggris menghasilkan buku Story of Java, yang memandang Jawa sebagai tempat yang eksotis. Sementara dokumentasi yang menghasilkan centhini berdasarkan realita yang ada, atau hasil dari kehidupan keseharian.
“Dokumentasi centhini mulai dari cara pembuatan rumah, mocopat, wayang, topeng, sampai dolanan dan tradisi desa. Dokumentasi mulai dari Gresik sampai Jawa Barat, dari pesisir Utara sampai Selatan, semua dijelajahi dan dicatat dalam centhini,” kata Rudi.
Menurut budayawan dan dosen, Rendra Agusta, sudah banyak pemaknaan ulang centhini. Salah satunya pemaknaan paska reformasi yang tafsirannya lebih leluasa. “Hampir setiap zaman, naskah ini diputrani (ada pemaknaan baru), ini menjadi pertanda ada fungsi penting dari centhini,” katanya.
Credit: Source link