Bamsoet saat menerima perwakilan Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Selasa (21/7/20).
Jakarta, Jurnas.com – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) mencabut izin perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 171/2009 yang diberikan kepada PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) untuk menguasai lahan seluas 854,26 hektar.
Penerbitan HGU tersebut telah menyebabkan konflik agraria antara PTPN II dengan masyarakat petani di Desa Simalingkar A, Desa Durin Tunggal, dan Desa Namu Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
“Kementerian ATR juga harus menyelesaikan konflik agraria seluas 557 hektar antara PTPN II dengan masyarakat petani di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kedua konflik agraria yang telah berlangsung sejak tahun 1975-an ini harus segera diselesaikan. Sangat ironis, menjelang 75 tahun kemerdekaan, bangsa Indonesia masih dihadapi konflik agraria antara negara dengan rakyat,” ujar Bamsoet saat menerima perwakilan Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB), di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Selasa (21/7/20).
Para petani yang hadir antara lain Aris Wiyono, Sura Sembiring, Jasa Surbakti, Sulaeman Wardana, Yudi, Musliadi, Ronal Sihombing, Pendi Surbakti, Agnes Irianta, dan Tenang Sembiring. Mereka sudah hampir satu bulan berjalan kaki dari Deli Serdang, Sumatera Utara menuju Jakarta untuk mencari keadilan. 171 petani lainnya masih dalam perjalanan, saat ini sedang berisitirahat di Pekanbaru, Riau.
Bamsoet mengungkapkan, dari laporan yang disampaikan SPSB dan STMB diketahui bahwa tanah pertanian yang menjadi sumber konflik agraria tersebut, pada masa pra kemerdekaan Indonesia awalnya dikuasi orang-orang Belanda melalui mascapai Deli Kuntur.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 menyebabkan orang-orang Belanda pergi, masyarakat kemudian mengambil alih untuk tempat tinggal dan bertani.
Presiden Soekarno melalui UU Pokok Agraria No. 5/1960 mengambil alih aset-aset yang dikuasai Belanda untuk kemakmuran rakyat. Tahun 1975, pemerintahan Orde Baru melalui Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SK untuk PTPN II (saat itu bernama PTPN IX) untuk mengelola lahan pertanian tersebut. Dari situlah awal mula terjadinya konflik agraria negara dengan masyarakat.
“Saat ini pemerintah provinsi Sumatera Utara dibawah kepemimpinan Gubernur Edy Rahmayadi menjadi leading sector yang menangani konflik agraria tersebut. DPR RI dan pemerintah pusat juga harus turun tangan, karena masalah yang dihadapi tak mudah, namun juga tak sulit. Kuncinya dibutuhkan keberpihakan terhadap rakyat,” jelas Bamsoet.
Bamsoet juga mendorong Kepolisian untuk menangani konflik agraria ini secara persuasif. Jangan sampai ada kesan aparat menggunakan kekerasan untuk mengusir rakyat dari lahan dan rumah yang selama ini telah mereka tempati.
“Komisi II DPR RI harus segera memanggil Kementerian ATR, sementara Komisi VI DPR RI memanggil Kementerian BUMN dan PTPN II. Sehingga berbagai sengkarut konflik agraria tersebut bisa segara diselesaikan. Apalagi Presiden Joko Widodo sejak awal periode pemerintahannya di tahun 2014 sudah menggelorakan Reformasi Agraria dengan memberikan sertifikat lahan secara gratis untuk rakyat,” ujar Bamsoet.
TAGS : Kinerja MPR Bambang Soesatyo Konflik Agraria PTPN II
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin