Militer Myanmar saat menghadapi warga muslim Rohingya (Foto: Reuters)
Ankara – Myanmar mengabaikan putusan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berpusat di Belanda. Pasalnya, ada unsur kejahatan terhadap masyarakat Rohingya.
“Pengadilan memiliki yurisdiksi atas kejahatan kemanusiaan dugaan deportasi yang dilakukan terhadap masyarakat Rohingya,” ujar pengadilan yang bermarkas di Den Haag itu, lewat pernyataan resminya pada Kamis.
“Alasannya, unsur kejahatan ini–melewati perbatasan–terjadi di sebuah negara [Bangladesh],” tambah dia.
Pernyataan tersebut mengatakan, itu, “barangkali pelaksanaan yurisdiksinya terkait kejahatan lain yang ditetapkan dalam pasal 5 Statuta [ICC Roma], seperti kejahatan terhadap kemanusiaan persekusi dan/atau tindakan tidak manusiawi lainnya.”
Namun, pemerintah Myanmar mengabaikan keputusan ICC. Myanmar kembali menegaskan posisinya, bahwa itu bukan bagian Statuta Roma, dan tidak berkewajiban untuk menghormati putusan pengadilan,” kata Kantor Presiden Myanmar dalam siaran pers, Jumat.
“Myanmar menegaskan kembali bahwa pihaknya tidak mendeportasi orang-orang di wilayah yang disebutkan, dan faktanya bekerja keras bersama Bangladesh untuk memulangkan mereka,” ujar siaran pers.
“Myanmar menegaskan kembali bahwa pihaknya tidak mendeportasi orang-orang di daerah-daerah yang dikhawatirkan dan sebenarnya telah bekerja keras dalam kerja sama dengan Bangladesh untuk memulangkan mereka yang mengungsi dari rumah mereka,” kata siaran pers.
Keputusan ICC datang sepekan setelah PBB merilis laporan yang mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan–termasuk bayi dan anak-anak–pemukulan brutal dan penculikan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar. Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut bisa jadi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar meminta para pejabat militer penting Myanmar, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Min Aung Hlaing, untuk diadili di Pengadilan Pidana Internasional, karena genosida yang dilakukan terhadap Muslim Rohingya.
Sejak 25 Agustus 2017, sekitar 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA).
Dalam laporannya baru-baru ini, Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience, OIDA menaikkan perkiraan jumlah Rohingya yang terbunuh menjadi 23.962 (± 881), dari angka Doctors Without Borders sebesar 9.400.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dilemparkan ke api, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, kata laporan OIDA, menambahkan bahwa 17.718 (± 780) perempuan Rohingya diperkosa tentara dan polisi Myanmar. Lebih dari 115.000 rumah Rohingya juga dibakar dan 113.000 lainnya dirusak.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, sebagian besar anak-anak dan perempuan, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh, setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas itu.
Rohingya, yang digambarkan PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan–termasuk bayi dan anak kecil–pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar. Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut bisa jadi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (AA)
TAGS : Rohingya Perempuan PBB Myanmar
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/40490/Myanmar-Abaikan-Putusan-Pengadilan-Internasional/