ilustrasi pernikahan (foto: shutterstock)
Oleh : Noura Fadhilah
Tidak pernah ada ruang kehidupan manusia di muka bumi yang tidak berkaitan dengan persoalan kekuasaan. Bahkan hingga persoalan private manusia yang paling dasar, yaitu seksualitas, negara mengunakan tangan kekuasaannya untuk masuk dan mengatur.
Menurut Michael Foucault, kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisik kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada persoalan legitimasi.
Jika pemberian izin menikah pada remaja di bawah usia 18 adalah persoalan, karena bertentangan dengan banyak UU yang telah ada. Maka mari mengajukan judicial review pada berapapun banyak UU yang terkait dengan hal tersebut. Jika hal ini hanyalah persoalan legitimasi dan kekuasaan.
Akses informasi yang begitu mudah dan cepat membuat banyak hal berubah di tengah masyarakat. Keingintahuan remaja pada persoalan seksualitas yang tidak menemukan jawaban, dari orang dewasa yang seharusnya bisa memberikan keterangan tentang persoalan seksualitas secara benar dan tepat. Kemudian mengakibatkan keingintahuan yang semakin besar, lalu mencari tau dengan cara-cara mereka sendiri, yang pada ahirnya mencoba dan mempraktikkannya.
Seks bebas dan tingginya angka aborsi pada remaja perempuan adalah realita yang terjadi di tengah anak-anak remaja kita, mulai dari yang duduk dibangku sekolah menengah pertama hingga mahasiswa. Situasi tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga bagian dari keseharian anak-anak remaja yang bahkan tinggal di desa-desa terpencil.
Pelarangan pendidikan seks masuk dalam kurikulum sekolah adalah akar persoalan, dari tingginya angka seks bebas tanpa disertai tangung jawab di tengah remaja kita. Pendidikan seks menjadi bagian dari kurikulum sekolah adalah kemestian yang tidak bisa di tawar lagi. Agar para remaja terpenuhi rasa keingintaunya akan persoalan seksualitas, namun dengan sumber dan cara yang tepat serta informasi diberikan oleh pribadi dewasa yang tepat dan bertanggung jawab, seperti orang tua, para guru, para kiai dan para ulama agama-agama lain.
Saat Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak hingga politisi Senayan melarang pemberian izin menikah bagi dua pasangan remaja di Sulawesi, dan pastinya akan berlaku sama bagi remaja-remaja lainnya yang juga ingin mengajukan izin menikah mudah. pertanyaannya, siapa yang akan menanggung dosa dan akibat turunan dari seks bebas yang bisa terjadi di antara para remaja yang tidak diberikan izin menikah mudah?
Sikap kepura-puraan dengan menutup mata akan persoalan seks bebas yang terjadi di antara para remaja, sikap ini kah yang hendak ingin terus kita pertahankan? Anak-anak kita, para remaja, generasi muda bangsa menunggu tawaran alternatif solusi akan persoalan mereka, bukan dengan membacakan UU pernikahan atau UU lainnya terkait pelarangan izin menikah, untuk bisa membantu meredam kebutuhan seks yang mereka miliki.
Remaja hari ini adalah wajah bangsa dan negara di masa depan. Pengabaian kita akan persoalan remaja, sama artinya kita melakukan pengabaian pada masa depan bangsa dan negara. Remaja butuh sedikit ruang dalam alam pikir para tokoh-tokoh bangsa hari ini, yang seperti hanya sibuk berpikir akan kekuasaan dan cara merebut kekuasaan.
TAGS : Pernikahan Seks Opini
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin