Mengurus anak itu harus dengan tensi tinggi. Pasang wajah merengut seharian. Pokoknya anak wajib takut sama orang tua. Kalau nggak begitu, anak bakal tidak nurut. Namun, betulkah begitu? Nah, ternyata adakalanya parents juga perlu untuk tarik-ulur. Tidak terus marah-marah. Atau, dikenal dengan istilah layang-layang. Bukan series Layangan Putus lho, Bunda.
—
ANAK penurut itu memang impian semua orang tua. Namun, membuat buah hati menjadi penurut itu bukan sekadar dengan nada tinggi atau cosplay jadi nenek sihir di depan anak. Karena itu, ada istilah layang-layang dalam parenting. Psikolog anak Nuri Fauzia menyatakan, sebelum menerapkan layang-layang, orang tua harus paham prinsip layang-layang. Prinsipnya adalah kapan waktunya menarik dan mengulur.
Nur menyebutkan, ada kalanya orang tua memberikan ruang kebebasan kepada anak. Namun, dengan asumsi jika anak sudah mengerti arti tanggung jawab. Ada kalanya orang tua untuk injak rem juga. ’’Di saat apa? Ya asumsinya anak benar-benar belum bisa sepenuhnya tanggung jawab,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.
Di usia berapa prinsip layang-layang bisa diaplikasikan kepada anak? Menurut Nur, prinsip tersebut bisa diterapkan ketika kognitif anak sudah baik, tapi prinsip hidupnya belum kuat. Idealnya, kondisi seperti itu bisa diterapkan saat anak usia 7 tahun. Di usia tersebut. prinsip layang-layang lebih ke arah pengondisian anak.
Pada tahapan itu, lanjut Nur, anak mulai bergeser dari pemahaman yang sebelumnya di fase praoperasional, lalu menjadi operasional konkret. Dia menilai, anak umur 7 tahun sudah memiliki value, tapi belum cukup kuat. Selain itu, responsibility anak belum kukuh.
Dia menyatakan, prinsip layang-layang bisa saklek dipraktikkan kala anak usia 11 tahun ke atas. Pasti, bunda-ayah bertanya-tanya, kok bisa 11 tahun? Bukannya bagus sejak dini? Betul, memang sejak dini. Namun, bunda perlu tahu kalau urusan parenting tidak bisa ujug-ujug. Misalnya, konsep layang-layang langsung diaplikasikan tanpa ada pemanasan. Dampaknya justru tidak bagus. Parents bisa memulai layang-layang sebagai pengondisian ketika anak usia 7 tahun, yes.
Nur menyampaikan, saat usia 11 tahun, ’’matahari” anak bergeser. Awalnya orang tua, lalu digantikan teman-teman dekat anak. Anak-anak mulai menyerap value dari lingkungan sekitarnya. Di fase tersebut, peran orang tua lebih bagaimana melihat keputusan-keputusan yang diambil anak, apakah sudah tepat atau belum. Di sisi lain, tentu orang tua juga tetap mengawasi.
Terpisah, Laurencia Ika Wahyuningrum selaku konselor anak dan remaja menyatakan, ada empat tahapan perkembangan motorik anak. Pertama, tahapan sensorimotor di usia 18–24 bulan. Pada usia tersebut, anak mengenal dunianya lewat melihat, mendengar, dan mengembangkan motoriknya dengan menggapai dan menyentuh. Anak belum bisa berpikir simbolis. Apa yang dilihat anak dimaknai secara harfiah. Kemudian, pada tahapan kedua, yakni praoperasional, saat usia anak 2–7 tahun. Pada usia tersebut, anak sudah bisa berpikir simbolis dan logis.
Kemudian, tahapan ketiga adalah praoperasional konkret. Ika menjelaskan, tahapan tersebut anak telah mampu berpikir logis dan hipotesis. Dan, tahapan terakhir adalah operasional formal. Tahapan operasional formal ketika usia anak 12 tahun ke atas. Anak mulai mampu berpikir abstrak dengan memanipulasi ide-ide, berpikir kreatif, dan memahami konsekuensi dari hasil tindakannya.
Credit: Source link