Wakil ketua Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara, Bambang Istianto
Jakarta, Jurnas.com – Meski Otonomi daerah di Indonesia sudah berjalan 20 tahun lebih, namun sampai saat ini masih menyisakan sejumlah persoalan. Padahal, tujuan otonomi itu sejatinya dapat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah lebih besar dan luas agar distribusi sumberdaya sampai ke rakyat yang paling bawah.
Diketahui, Dasar kebijakan otonomi daerah telah mengalami perubahan tiga kali yaitu mulai UU nomor 22 tahun 1999 berubah menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan direvisi menjadi UU 23 tahun 2014.
“Perubahan tersebut mencerminkan belum mantapnya konsolidasi kekuasaan pemerintahan daerah. Karena itu otonomi daerah yang belum stabil tersebut berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah,”kata Direktur Eksekutif Center of Public Policy Studies (CPPS) Dr Bambang Istianto di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Wakil ketua Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara ini mencontohkan, dampak belum stabilnya otonomi daerah terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah, Misalnya kondisi ekonomi yang masih timpang. Hal itu, kata Bambang, ditunjukan dengan angka gini ratio yang masih mendekati angka empat.
“Artinya masih banyak rakyat yang miskin di daerah. Seharusnya usia 20 tahun tersebut penataan otonomi daerah sudah berhasil terwujudnya pemerataan pembangunan,” kata Bambang.
Selanjutnya, dampak belum stabilnya otonomi daerah dari dimensi politik yakni, masyarakat belum bisa memperoleh kepala daerah yang handal, padahal, kepala daerah itu, dipilih dengan sistem demokrasi langsung.
“Bahkan sebagian besar kepala daerah terkena kasus hukum dan juga sedikit yang memiliki kemampuan manajemen pemerintahan dengan baik.
Mengutip pepatah salah satu tokoh, Peter Drucker yang mengatakan bahwa sesungguhnya ‘tidak ada negara yang miskin kecuali manajemen pemerintahanya yang buruk’. Pendapat Drucker, kata Bambang boleh jadi tepat, hal itu lantaran kecenderungan kepala daerah banyak yang tidak becus dalam menyusun APBD.
“Dapat dimaklumi (Menteri Keuangan) Sri Mulyani memberikan kritik dan mengeluh bahwa ternyata 70 % APBD hanya untuk belanja pegawai. Meskipun sudah dibantu dengan e- Budgetting seharusnya alokasi anggaran pada pos – pos secara prioritas jauh lebih akurat.
Disamping itu, lanjut Bambang, kebijakan kepala daerah tentang sumber daya manusia dinilai kurang dilandasi pada kapasitas terpasangnya organisasi pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada banyaknya Tenaga Kerja Kontrak (TKK) dibanding tenaga berstatus ASN pada setiap unit kerja.
Pada gilirannya, pos anggaran kepentingan untuk rakyat seperti kegiatan dan program penciptàan lapangan kerja, perluasan kesempatan usaha dan lain lain terabaikan.
“Oleh sebab itu pemerintah perlu peningkatan kemampuan manajemen pemerintahan sehingga dalam penysunan APBD tidak mengalami disorientasi seperti yang dikeluhkan menteri keuangan Srimulyani,” kata Bambang.
TAGS : Otonomi Daerah APBD Bambang Istianto
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin