JawaPos.com – Pakar hukum internasional, Prof. Hikmahanto Juwana berpendapat rencana perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012) yang menuai kontroversi dari berbagai pihak sejauh ini tidak ada urgensinya. Menurut Prof. Hikmahanto, regulasi ini masih relevan sebagai payung hukum pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.
Prof. Hikmahanto mengemukakan hal itu menyikapi Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang menggelar uji publik perubahan PP 109/2012 di ruang Herritage, Kemenko PMK, pekan lalu. Menurut Prof. Hikmahanto, PP 109/2012 ini sudah secara seimbang mengatur aspek kesehatan, industri hasil tembakau (IHT), perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja, sehingga tidak perlu untuk direvisi.
Tetapi, karena Indonesia dianggap kurang kompeten dan kurang merespons apa yang terjadi di luar negeri, sehingga pemerintah didorong untuk meratifikasi sebuah perjanjian, yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). “Namun setelah mengutip arahan dari Pak Presiden Jokowi bahwa kita tidak mau hanya sekadar ikut-ikutan tren, kita harus betul-betul melihat kepentingan nasional Indonesia,” lanjutnya.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) itu menjelaskan, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek. Dalam kasus rencana revisi PP 109/2012, Prof. Hikmahanto berpendapat pemerintah seharunya mempertimbangkan juga aspek lain di luar kesehatan. Seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, kelangsungan usaha industri hasil tembakau, hingga penerimaan negara.
“Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan,” tegasnya.
Menurutnya, PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan, namun merupakan titik temu berbagai kepentingan. Maka itu, kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif.
Credit: Source link