DEPOK, BALIPOST.com – Kejahatan siber pada masa pandemi semakin marak dengan modus meminta sumbangan mengatasnamakan korban pandemi, pencurian data, dan pembobolan rekening. Hal ini dikatakan Dosen Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Bhakti Eko Nugroho.
“Hal ini harus diwaspadai mengingat tindak kejahatan ini semakin masif dilakukan,” kata Bhakti Eko Nugroho dalam keterangannya, Jumat.
Bhakti mengatakan hal tersebut dalam webinar yang diselenggarakan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan tema “Modus Baru Cyber Crime di Tengah Pandemi COVID-19”.
Cyber crime adalah segala aktivitas ilegal yang digunakan pelaku kejahatan dengan menggunakan teknologi sistem informasi jaringan komputer yang secara langsung menyerang teknologi sistem informasi dari korban. Namun secara lebih luas kejahatan siber bisa diartikan sebagai segala tindak ilegal yang didukung dengan teknologi komputer.
“Target pelaku adalah device atau hardware atau software atau data personal dari korban. Sifat cyber crime adalah baik pelaku maupun korban sama-sama invisible atau tidak terlihat, hal ini yang membuat jenis cyber crime punya kompleksitas sendiri. Pelaku potensial dari jenis cyber crime ini, dia bisa dari kelompok yang geologis ataupun kelompok yang berbisnis secara ilegal dan individu tertentu,” ujar Bhakti.
Bhakti menjelaskan keuntungan pelaku di aktivitas cyber crime adalah anonimitas pelaku dengan lebih mudah menyembunyikan identitas mereka, kemudian ketika pelaku melaksanakan kejahatan di ruang siber ada jeda waktu yang memungkinkan pelaku lebih leluasa untuk menghilangkan barang bukti agar mengecoh dan mencegah respons upaya-upaya yang dilakukan penegak hukum.
Pengguna internet baik di dunia maupun di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Pandemi COVID-19 berdampak pada perubahan pola hidup masyarakat Indonesia yang cenderung lebih banyak mengandalkan internet. Tentunya ada sisi positif dari penggunaan internet yang tinggi, namun dari sisi negatifnya internet atau teknologi informasi ini menjadi “tools” (alat) baru yang digunakan pelaku kejahatan untuk merugikan orang lain.
Menurut data Polri pada bulan April 2020 sampai Juli 2021, setidaknya ada 937 kasus yang dilaporkan. Dari 937 kasus tersebut ada tiga kasus dengan angka tertinggi, yaitu kasus “provocative”, “hate content”, dan “hate speech” yang paling banyak dilaporkan, sekitar 473 kasus. Kemudian disusul penipuan online 259 kasus, dan konten porno 82 kasus.
“Lalu mengapa angka kasus provocative, hate content, dan hate speech ini menjadi yang tertinggi, hal ini dipengaruhi residu politik di Indonesia yang terjadi beberapa waktu lalu baik pemilihan daerah maupun pemilu nasional yang mengakibatkan polarisasi pada masyarakat. Hal tersebut terbawa hingga saat ini di mana saat pandemi terjadi seharusnya masyarakat Indonesia bersatu untuk melawan wabah ini tetapi malah saling bertengkar dan menyalahkan satu sama lain,” kata Bhakti.
Selain itu, katanya, kepolisian sudah mengamankan pelaku yang menyebarkan informasi hoaks tentang pandemi COVID-19. Para pelaku ini memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari kerentaan, ketidakberdayaan, dan keterbatasan masyarakat selama pandemi COVID-19. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link