DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali sudah mulai pulih, namun jangan senang dulu. Ketika pandemi Covid-19 tak lagi menjadi penghalang orang bepergian dan berwisata keliling dunia, resesi global justru menghadang. Resesi global yang juga berakumulasi dengan inflasi menimbulkan kesulitan tersendiri bagi setiap negara di dunia. Hal itu diungkapkan Kepala KPw BI Bali Trisno Nugroho, Rabu (28/12).
Dia mengatakan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 11 ribuan per hari berdasarkan data November 2022. Saat border internasional Bali dibuka pada 7 Maret 2022, kunjungan wisman hanya 601 orang. Tidak hanya wisman, kunjungan wisatawan domistik pun setali tiga uang yaitu mencapai 13 ribu – 14 ribu per hari. Tingkat kunjungan tersebut menjadi cerminan bahwa Covid -19 yang berstatus pandemi global tak lagi menjadi momok orang bepergian.
Kini proyeksi ekonomi dunia tahun 2023 diturunkan seperti Amerika yang semula diproyeksi tumbuh 1,7 persen, dikoreksi menjadi 1 persen bahkan dugaannya dengan suku bunga acuan the fed naik 50 bps bisa mencapai 0,5 persen. Bahkan bisa nol atau di bawah 0. Eropa juga sama, diproyeksikan turun ke bawah.
Sementara inflasi masih tinggi. Di Amerika inflasi mencapai 7,1 persen, Inggris 8 persen – 9 persen. Mereka meresponsnya agresif dengan menaikkan suku bunga. Namun hal ini justru melemahkan pertumbuhan ekonomi. “Kalau suku bunga dinaikkan, ekonomi akan turun sama seperti China tapi India malah bagus. Dengan ancaman resesi global itu, wisatawan asing tentu akan berhemat tidak memperioritaskan wisata,” ujar Trisno Nugroho.
Di sisi lain dia tetap optimis ada secercah harapan bahwa masyarakat middle up ke atas masih tetap memiliki daya beli untuk berwisata. Selain itu dua tahun diisolasi karena pandemi akan mendorong orang untuk bepergian.
Dengan indikator dan harapan tersebut, BI memproyeksikan tahun 2023, ekonomi Bali tumbuh 5,2 persen, lebih rendah dari tahun 2022 yang diproyeksikan tumbuh 5,4 persen.
Sementara inflasi Bali masih mengkhawatirkan. Berdasarkan data BPS Bali yang disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Hanif Yahya, inflasi Bali pada November mencapai 6,62 persen (yoy). Meski lebih tinggi dari inflasi nasional namun lebih rendah dari inflasi November 2021. Penyebabnya adalah komponen volatile food yaitu harga cabai rawit dan merah.
Ancaman resesi global ditambah inflasi masih membayangi. Bahkan Gubernur BI Perry Warjiyo saat acara Pertemuan Tahunan BI membeberkan sejumlah ancaman yang berdampak pada ekonomi Indonesia. Di antaranya, dunia masih bergejolak dan tidak tahu kapan perang Rusia dan Ukraina akan berakhir. Perang dagang AS dan Tiongkok kembali memanas, lockdown di Tiongkok diperpanjang menjadi 6 bulan, harga energi dan pangan masih tinggi, pasokan dan distribusi barang masih tersendat, risiko stagflasi dan bahkan resflasi, persepsi risiko investor global negatif. Resflasi adalah risiko resesi disertai inflasi yang tinggi. Jika berlanjut, memungkinkan terjadinya risiko stagflasi, pertumbuhan cenderung turun namun inflasinya tinggi. “Kita perlu mewaspadai lima permasalahan dari prospek ekonomi global” ujar Peru.
Akademisi Unud Prof. Wayan Ramantha mengatakan, berbagai kemungkinan bisa terjadi, namun untuk Indonesia ia berharap bisa bertahan agar “kepala tetap diatas air”. Namun ia optimis Indonesia dapat bertahan karena cadangan devisa cukup, neraca perdagangan surplus dan ekspor Bali akan lebih berdaya saing.
Penopang ekonomi Bali memang sektor pariwisata namun perlu dicermati bahwa pariwisata Bali hanya berkembang di Denpasar, Badung, Gianyar. Kabupaten lain yaitu Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem, Klungkung agar tidak latah mengembangkan pariwisata.
“Lokomotif utama ekonomi Bali masih pariwisata. Sementara sektor lain belum bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Bali. Mengubah pariwisata ke pertanian perlu waktu yang disebut transformasi ekonomi Bali jadi tidak bisa serta merta pariwisata kita geser, backbone-nya tetap kita dorong yaitu pariwisata supaya kita pulih, kan kita belum pulih karena PDRB kita masih di bawah sebelum pandemi,” beber Trisno.
Menurutnya sektor lain belum bisa diandalkan. Sehingga sektor pariwisata tetap digerakkan namum jangan lupa membangun sektor lain. “Bupati Buleleng jangan lupa membangun pertanian, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem, Klungkung juga pertanian dan perikanan. Tolong itu jadi fokus. Jangan semua lari ke sektor pariwisata karena membangun sektor pariwisata perlu waktu lama,” ungkapnya.
Pariwisata Badung saja dibangun tahun 70-an dengan tonggak dibangunnya ITDC dan baru tahun 80-90-an booming. Ini artinya membangun pariwisata perlu waktu lama. “Jika kabupaten lain membangun pariwisata maka akan ketinggalan,” tandasnya.
Menurutnya, BI sudah mendorong kabupaten yang bergerak di sektor non pariwisata untuk mengembangkan sektor seperti pertanian dengan mendorong Perusdanya bahkan Gubernur Koster meminta agar kabupaten/kota membangun Perusda Pangan sebagai pengendali harga dan membantu produk pertanian lokal agar tersalurkan. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link