Ilustrasi Wakil Gubernur Jawa Barat vs Meikarta (ilustrasi: Jurnas)
Oleh : Hersubeno Arief*
Seperti sebuah pertunjukan besar sandiwara, layar di panggung Meikarta sudah mulai terbuka. Bagaimana sebenarnya peran dan posisi pemerintahan Jokowi dalam mega-proyek kontroversial ini setidaknya bisa dibaca dari pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo.
“Jangan seperti Meikarta, izin dari Bupati sudah ada, terhambat karena dilarang oleh Wakil Gubernur Jawa Barat. Padahal belum ada peraturan gubernur yang mengatur masalah ini. Saya kira ini harus dicermati bersama,” ujar Tjahjo saat membuka pameran Indonesia Future City & REI Mega Expo 2017 di ICE BSD, Serpong, Kamis, (14/9).
Pernyataan Tjahjo merupakan sikap resmi pertama pemerintah pusat yang dilansir ke publik dalam sengkarut proyek milik pengembang raksasa Lippo Group.
Sampai nanti ada ralat dari pejabat yang lebih tinggi sekelas Menko atau Presiden, publik boleh memegang kata-kata Tjahjo sebagai sikap resmi pemeritah.
Dalam bahasa yang lebih gamblang Tjahjo menegur Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang dianggap menghambat investasi. Padahal investasi dan pertumbuhan ekonomi adalah mantra sakti yang menjadi andalan utama pemerintahan Jokowi.
Posisinya perkubuannya sekarang menjadi jelas. James Riady didukung penuh oleh pemerintah pusat, media-media arus besar (mainstream) yang sudah basah kuyup diguyur iklan Meikarta Vs Pemprov Jabar, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ombudsman RI, media-media alternatif, para pegiat dunia maya dan masyarakat madani.
Posisi ini mengingatkan kita pada kasus reklamasi pantai utara Jakarta. Hanya berbeda pada setting dan aktor yang berperan. Baru level Mendagri yang turun. Belum Menko.
Di Jakarta aktor utama yang berperan adalah para taipan pengembang –minus Lippo—di-back up oleh Gubernur DKI Jakarta yang saat itu masih dijabat Ahok, dan sebagian anggota DPRD DKI. Di level pusat yang berperan sebagai senjata pamungkas Menko Maritim Luhut B Panjaitan. Mereka, kalau meminjam pembagian peran dalam opera atau sandiwara adalah para pemeran antagonis.
Di kubu lain yang berperan protagonis adalah masyarakat madani yang mem-back up para nelayan dan kelompok masyarakat pinggiran korban penggusuran, dan terancam kehidupannya. Mereka kemudian diperkuat oleh cagub-cawagub Anies-Sandi yang diusung PKS-Gerindra. Pasangan penantang ini dengan tegas membawa misi menghentikan reklamasi bila terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur.
Media arus utama saat itu masih terbelah. Media-media yang terafiliasi dengan pemerintah, mendukung penuh reklamasi. Sementara media-media yang relatif netral seperti Kompas dan Tempo juga cukup kritis terhadap proyek reklamasi. Saat itu tak ada guyuran iklan di media lokal. Pengembang reklamasi malah banyak memasang iklan di luar negeri, terutama Cina, karena para pengembang menyasar pasar konsumen disana.
Meikarta bisa dilihat sebagai sekuel, kisah lanjutan dari reklamasi Jakarta, hanya latar panggungnya yang berbeda. Karena kisah lanjutan, maka skenarionya hampir pasti sama. Sebuah kisah adaptasi, dengan sedikit perubahan, berupa muatan lokal. Meikarta adalah reklamasi pantai utara Jakarta dengan rasa lokal Jabar.
Tarik menarik politik Pilkada Jabar
Dengan meminjam pernyataan Mendagri bahwa Pemprov Jabar dalam hal ini Wagub Deddy Mizwar menjadi penghambat Meikarta, maka setidaknya ada dua skenario besar yang bisa ditempuh oleh James Riady dan pemerintah pusat.
Skenario pertama, adalah skenario “sederhana” yang terdiri dari dua cara. Pertama, pemerintah pusat secara tegas mengingatkan Demiz agar menghentikan aksinya menghadang Meikarta. Kalau Tjahjo tidak mempan, mungkin Menko Luhut bisa mengambil alih. Terbukti di reklamasi Jakarta peran Luhut sangat efektif.
Bila tidak mempan juga, presiden mungkin perlu turun tangan. Jangan lupa sebenarnya hubungan Jokowi dengan Demiz sangat dekat. Sebelum Ahok dipilih menjadi wakil Jokowi pada Pilkada DKI 2012, Jokowi telah menjatuhkan pilihan dan punya komitmen dengan Demiz untuk mendampinginya sebagai Cawagub. Namun pilihan berubah ketika Prabowo kemudian menyodorkan Ahok.
Pilihan pertama ini susah-susah gampang. Namun bila melihat karakter Demiz, agak sulit membayangkan dia mau mundur atas prinsip yang telah diyakini. Sebagai seorang pemimpin daerah, Demiz mengaku sangat menyadari pentingnya sebuah investasi, tapi bukan berarti harus melanggar dan menabrak semua aturan.
Meikarta seperti juga diakui James Riady belum punya izin, dan baru mau mengurusnya. Izin Amdal dan IMB belum ada. Rencana Detil dan Tata Ruang (RDTR) dari Pemkab Bekasi juga belum disetujui oleh Pemprov Jabar. Meikarta juga dibangun tidak sesuai dengan RUTR Pemprov Jabar. Lahan yang berizin baru 84.6 hektar, itupun ditengarai belum semuanya dikuasai.
Masalahnya Meikarta sudah melakukan penjualan dan promosi gila-gilaan. Mereka mengklaim sudah menjual 130.000 unit apartemen.
Semua pelanggaran itu tidak mungkin dibiarkan oleh Demiz. Jadi pilihan pertama pada skenario ini akan sulit terlaksana.
Kedua, Demiz disingkirkan melalui Pilkada Jabar 2018. Bila dia terpilih kembali sebagai gubernur, maka posisi Meikarta akan makin sulit.
Cara termudah dan elegan bagi Meikarta adalah dengan beternak penguasa. Mereka tinggal pilih siapa kandidat lawan Demiz yang paling potensial. Tinggal digelontor dana yang cukup besar untuk partai-partai pendukung, tim sukses, iklan, operasi media dan buzzer.
Untuk ukuran proyek senilai Rp 278 triliun, menyisihkan dana bagi kelangsungan proyek sebesar Rp 1-2 triliun sangat kecil.
Cuma harus diingat gejalanya Pilkada Jabar juga akan “berdarah-darah” seperti DKI. Pernyataan Tjahjo yang membuka posisi pemerintah pusat, bisa menjadi bensin yang menyiram kemarahan masyarakat madani dan mereka akan bergabung dalam barisan Demiz.Saat ini sudah terbentuk aliansi masyarakat yang menamakan diri Gerakan Tolak Meikarta (GTM).
Skenario berikutnya bila Demiz gagal ditundukkan atau dihadang, maka pemerintah pusat bisa mengambil-alih penangannya seperti reklamasi Jakarta.
Hanya bedanya dengan DKI berbagai perizinan Meikarta tidak bisa dikebut sebelum gubernur baru dilantik, karena Demiz saat ini adalah Wagub incumbent. Beda dengan Gubernur DKI Djarot yang berada dalam satu lakon dan peran dengan pemerintah pusat. Jadi semua _aturable_, bisa diatur.
Untuk mengamankan skenario, diakhir jabatan Djarot mengganti puluhan pejabat eselon II, pemerintah pusat bisa segera menyerahkan sertifikat Pulau C dan Pulau D. Mulai dari sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang langsung diserahkan presiden, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), dan kemudian pencabutan moratorium pembangunan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Soal aktornya siapa? Nah yang ini jadi masalah. Reklamasi jelas erat kaitannya dengan Menko Maritim dan Sumber Daya. Jadi Luhut cocok mengambil alih dan pasang badan untuk mengamankannya. Masalahnya Meikarta, tidak berada di pinggir pantai. Tapi kalau mau dipaksakan bisa saja ada justifikasi bahwa di lahan yang akan digunakan sebagai lokasi pembangunan Meikarta terdapat sumber daya alam dan energi yang melimpah.
Nah kalau skenarionya begitu, Luhut cocok untuk kembali diterjunkan. Ini memang berada dalam kewenangannya sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya. There is a will, there is a way.
*Konsultan media dan politik
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/21857/Panggung-Sandiwara-Meikarta/