Radian Syam, Pengajar HTN Universitas Trisakti
Dr. Radian Syam, S.H., M.H*
Wabah virus Corona (Covid-19) yang melanda dunia menyebabkan ekonomi semua negara melambat, termasuk Indonesia. Semua negara memproyeksikan penurunan pertumbuhan ekonominya akibat pandemi Corona. Bahkan skenario terburuk, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa minus 0,4 persen.
Pemerintah merespon masalah ini dengan menyiapkan regulasi soal stabilitas keuangan negara. Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Selintas Perpu ini sempurna sebagai legitimasi hukum pemerintah dalam memulihkan ekonomi Indonesia. Perpu ini diperlukan karena memang kondisi ekonomi kita sedang terpuruk, bahkan diperkirakan lebih buruk dari krisis 1998. Namun ada yang mengganjal, yaitu selipan Pasal 27 yang mengatur kekebalan hukum. Hal ini dapat menyisakan beberapa pertanyaan dan/atau bahkan dapat menimbulkan masalah dan/atau berubahnya secara fundamental pada sistem ketatanegaraan kita yang dapat berpotensi pada abuse of power.
Pasal 27 ini mengatur mengenai Ketentuan Penutup dimana seharusnya hanya menjelaskan terkait UU mana yang dihapus dan/atau tidak digunakan kembali, bukan memberikan ruang atas terjadinya kekebalan hukum atas orang-orang yang duduk di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK).
Pasal 27 ayat 2 berbunyi:
“Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrundang-undangan.”
Lalu ayat (3): “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan obyek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”
Bahwa Pasal 27 dapat ditafsirkan sebagai langkah kemunduran dan/atau dapat menjadi sebuah preseden buruk bagi sistem ketatanegaraan kita.
Indonesia merupakan sebuah negara demokrasi dimana fungsi pengawasan berada di DPR (Pasal 20A ayat 1 UUD 1945). Lahirnya Pasal 27 Perpu Corona akan menyebabkan mekanisme pengawasan dan checks and balances tidak lagi dapat berjalan. Peran penegak hukum pun dapat menjadi tidak berjalan secara efektif ketika diduga adanya pelanggaran atau penyalahgunaan dalam penggunaan anggaran tersebut. Dimana jelas Pasal 28D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadan hukum.” Dengan kata lain tidak ada kekebalan hukum bagi sekelompok orang atau suatu individu.
Pasal 27 Perpu Corona akan menimbulkan makna executive heavy yakni kekuasaan eksekutif yang dipegang Presiden lebih tinggi kedudukannya dibanding cabang kekuasaan negara lainnya, sehingga cenderung terjadi dominasi Presiden terhadap pejabat tinggi negara lainnya. Bahayanya, kekuasaan yang mutlak digenggam oleh satu cabang kekuasaan cenderung disalahgunakan. Inilah yang dikhawatirkan Lord Acton: power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Selain itu, Pasal 27 Perpu Corona juga tidak terdapat adanya sinkronisasi antara Peraturan Perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya. UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN pada Pasal 2 huruf B dan C telah memberikan ruang pengecualian atas KTUN dimana sebuah aturan yang bersifat umum (regeling) dan/atau abstrak tidak masuk dalam obyek PTUN. Sehingga seyogianya tidak perlu ada Pasal 27 ayat 3 Perpu Corona.
Wabah Covid-19 merupakan pandemik yang kemudian mempengaruhi segala aspek di tengah masyarakat, baik hukum, ekonomi bahkan sosial yang kita belum mengetahui kapan akan berakhir. Namun apa yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo yakni salus populi suprema lex, yang artinya Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi itu harus sejalan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yaitu Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Saat ini Perpu Corona sudah efektif berlaku yang mana materi muatannya sama dengan UU (Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan). Namun sekali lagi Perpu ini nantinya harus diserahkan kepada DPR pada persidangan berikutnya (Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Melihat potensi maslah dalam Perpu Corona itu, saya berharap agar ketika Perpu ini masuk dalam pembahasan di DPR, maka kiranya para anggota DPR RI dapat menghilangkan Pasal 27. Ini penting agar peran dan/atau fungsi pengawasan DPR dan peran penegak hukum tetap berjalan. Semoga apa yang menjadi cita-cita Reformasi yang menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi dan rasa keadilan di tengah masyarakat selalu tetap terjaga dan terwujud.
*Pengajar HTN FH Universitas Trisakti
TAGS : Radian Syam FH Trisakti Perpu Corona
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/70026/Pasal-27-Perpu-Corona-Berpotensi-Abuse-of-Power/