JawaPos.com – Pemerintah memiliki kebijakan metrologi legal untuk mengendalikan dan memastikan bahwa alat ukur, alat takar, dan alat timbang yang digunakan dalam setiap aktivitas perdagangan sudah sesuai ketentuan. Dengan begitu, tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, baik pelaku usaha maupun konsumen.
Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat oknum pelaku usaha yang berusaha mengakali alat ukur, alat takar, dan alat timbang untuk mengeruk keuntungan pribadi. Karena itu, Kementerian Perdangangan gencar melakukan pengawasan dan penindakan di pasar-pasar tradisional hingga stasiun pengisian bahan bakar minyak (SPBU).
Wakil Ketua Umum PBNU Prof M Maksum Machfoedz mengakui, tugas mengurusi masalah metrologi tidaklah mudah. Negara sudah melakukan banyak hal, ada undang-undang tapi masalah mengakali timbangan itu moral hazard.
“Kasus seperti itu sudah ada sejak 15 abad yang lalu,” ujarnya dalam webinar Melek Metrologi: Pedagang Patuh, Konsumen Terlindungi yang digelar oleh Jawa Pos, Selasa (21/9).
Dengan demikian, Ia berharap tidak hanya sosialisasi namun juga ada perbaikan moral sehingga pedagang tidak lagi melakukan tindakan yang menyalahi aturan atau merugikan orang lain. “Jangan malah tahu itu salah tapi pura-pura tidak tahu. Tegakkanlah timbangan itu dengan keadilan. Jangan mengurangi timbangan, jangan diutik-utik. Itu kedzoliman yang luar biasa,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari sependapat bahwa penyimpangan metrologi merupakan masalah moral, kejujuran dan kepatuhan. Karena itu, metrologi harus selalu menjadi pedoman bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi elemen penting perekonomian negara.
“Ada lebih 62 juta pelaku UMKM di Indonesia, jika mereka mengedepankan masalah moral, kepatuhan, kejujuran, betapa dahsyatnya perekonomian kita. BRI mempunyai kapasitas besar dalam mengukur risiko. Itu diukur dari kepatuhan, kejujuran, moral, dan karakter yang biasanya diterapkan dalam konsep perkreditan,” sebutnya.
Sedangkan. Kepala Dinas Perdagangan Jatim Drajat Irawan mengungkapkan bahwa seperlima perdagangan di Indonesia ada di Jawa Timur. Karena itu, perlindungan kosumen di wilayah ini sangat penting.
“Pemprov tidak punya lagi kewenangan kemetrologian seperti diatur dalam UU 23 Tahun 2014, hal itu diserahkan ke kabupaten/kota. Karena itu kita lebih banyak fokus pada perlindungan konsumen,” pungkasnya.
Editor : Bintang Pradewo
Reporter : Romys Binekasri, ARM
Credit: Source link