Obat Sariawan Albothyl
Jakarta – Pembekuan izin obat sariawan Albothyl oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dianggap memiliki kandungan berbahaya bagi masyarakat, mengesankan lemahnya pengawasan lembaga tersebut. Padahal, produk ini telah lama beredar di masyarakat secara luas.
“Menyayangkan kinerja BPOM atas kasus munculnya produk Albothyl. Kenyataan bahwa produk Albotyl berbahaya, jelas-jelas merugikan konsumen. Dalam kasus ini, konsumen tidak mendapat perlindungan sebagaimana mestinya,” ujar Okky Asokawati, Anggota DPR RI Komisi IX dalam rilisnya kepada jurnas.com.
Okky mengatakan, peristiwa ini menunjukkan lemahnya pengawasan BPOM baik pre market maupun post market terhadap produk makanan, minuman dan obat-obatan. Harusnya, setiap produk makanan, minuman dan obat-obatan sebelum dipasarkan harus dilakukan pengawasan pre market maupun post market.
Menurut Fraksi dari PPP, Langkah ini penting untuk memastikan setiap produk makanan, minuman dan obat aman dikonsumsi masyarakat. “Kami menangkap kesan, jika produk impor tidak perlu perlu pengawasan pre market. Pandangan ini tentu tidak tepat, produk impor maupun produk lokal, harus tetap diawasi baik pre market maupun post market,” ujar Okky.
Dalam menangani kasus Albotyl ini, Okky mengatakan, ada kesan BPOM menerapkan standard ganda. Jika menghadapi produsen pelanggar aturan dalam hal makanan, minuman dan obat-obatan dari kalangan kecil, BPOM bertindak tajam dan tegas.
“Namun sebaliknya, bila BPOM menghadapi produsen yang melanggar aturan dari kalangan besar, kesan tumpul dan tidak bertaji cukup tampak diperlihatkan BPOM. Padahal merujuk Pasal 196 UU Kesehatan disebutkan siapa saja yang memproduksi, mengedarkan farmasi atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu diancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1 miliar,” ujar Okky.
Dalam hal pengawasan yang dilakukan pre market dan post market, Okky mengatakan, sebenarnya tidak ada alasan disebabkan kurangnya anggaran. Karena pagu anggaran untuk BPOM untuk tahun 2018 ini sebesar 2,17 triliun. “Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2017 lalu sekitar Rp 1,9 triliun,” ujarnya.
Okky mengatakan, DPR telah memasukkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam rancangan tersebut, BPOM didesain sebagai lembaga yang dapat memberikan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan. “Upaya ini dimaksudkan agar BPOM dapat memiliki peran yang lebih, tidak hanya sekadar urusan administrasi izin semata,” ujarnya.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/29279/Pembekuan-Izin-Albothyl-BPOM-Dianggap-Lemah-Pengawasan/