Perkampungan pekerja migran di Malaysia. (Foto: MigranT CARE)
Jakarta, Jurnas.com – Dalam peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2020, Migrant CARE menyerukan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak melupakan kerentanan pekerja migran dalam skema jaring pengaman sosial dan kebijakan perlindungan sosial untuk mengantisipasi dampak krisis pandemik COVID-19.
“Pemerintah Indonesia harus memprioritaskan stimulus fiscal dan kebijakan makro ekonomi yang berorientasi pada kepentingan kaum pekerja, kelompok perempuan miskin dan kaum marginal dan tidak menganakemaskan kepentingan investasi semata,” ujar Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo dalam keterangannya diterima jurnas.com, Jumat (1/5).
Wahyu juga mendesak Pemerintah Indonesia dan DPR-RI agar menghentikan secara total pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan lebih serius menangani krisis pandemik COVID-19.
“Pemerintah juga harus mendorong negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia untuk tidak diskriminatif dan tidak mengkriminalisasi pekerja migran tidak berdokumen dan lebih berfokus pada perlindungan pekerja migran dari virus COVID-19,” tegas Wahyu.
Laporan ILO bertanggal 29 Apri 2020 menyebut krisis pandemik COVID-19 merupakan krisis global terburuk sejak Perang Dunia II. Krisis ini membawa kaum pekerja, tidak hanya terancam kesehatannya, tetapi juga kehilangan pekerjaan dan menghidupannya.
Sebelumnya, ILO juga menyebut kelompok pekerja migran dan pekerja sektor informal merupakan kelompok pekerja yang menghadapi kerentanan berlapis dalam krisis ini, yaitu rentan terpapar, rentan distigma sebagai pembawa virus, rentan kehilangan pekerjaan dan rentan untuk diabaikan dalam kebijakan perlindungan sosial.
Menurut UN Women, kerentanan berlapis juga dihadapi oleh pekerja migran perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor pengasuhan, perawatan dan pelayanan publik. Kerentanan ini kerap dilupakan atau malah dianggap tidak ada.
Realitas ini, sayangnya, lamban direspons oleh pemerintah Indonesia. Dalam evakuasi warga negara Indonesia (mahasiswa Indonesia, Red) dari kawasan Wuhan yang mengalami isolasi.
Pemerintah Indonesia dinilai abai pada permintaan para pekerja migran Indonesia yang ada di daratan Tiongkok untuk juga dievakuasi. Karana itu, pembedaan perlakuan ini jelas merupakan kebijakan yang diskriminatif.
Krisis pandemik COVID-19 ini jelas membawa pengaruh pada keberlangsungan kerja dan penghidupan pekerja migran karena ruang gerak terbatasi serta menguatnya sentiment rasisme, xenophobia yang menomorduakan kaum pendatang asing dalam penanganan COVID-19.
Situasi ini jelas terlihat pada kondisi pekerja migran Indonesia di Malaysia yang terjebak lockdowndi Malaysia. Sebagian besar di antara pekerja migran tidak berdokumen tentu tidak memiliki keleluasaan bergerak disaat mereka harus kehilangan pekerjaan.
Kondisi inilah yang membuat mereka menantang marabahaya nekad pulang kampung menyebrang Selat Malaka dengan moda transportasi laut yang belum tentu menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Mereka yang bertahan di Malaysia pun juga harus menghadapi krisis pangan karena keterbatasan logistik sementara mereka tak lagi menerima upah,” ujar Wahyu.
Wahyu memperkirakan menjelang Lebaran ini akan terjadi eksodus pemulangan/kepulangan pekerja migran Indonesia, menurut BP2MI jumlah pemudik pekerja migran sekitar 38.000. Sebagian besar di antara mereka adalah yang selesai masa kontrak ataupun yang diperpendek masa kontraknya.
“Realitas tersebut di atas memperlihatkan bahwa krisis pandemik yang terjadi dan dialami oleh pekerja migran Indonesia terjadi mulai dari negara tujuan hingga negara asal,” kata Wahyu.
Oleh karena itu diperlukan langkah kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dan mengantisipasi krisis ini agar tidak menjadi tragedi kemanusiaan. “Kita tidak menginginkan adanya pekerja migran kelaparan di negara tujuan dan ketika pulang ke kampung halaman terjerembab dalam jurang kemelaratan,” tegas Washyu.
TAGS : Virus Corona Pekerja Migran Wahyu Susilo
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin