Pemerintah Masih Buka Ruang Soal Formulasi Pengupahan 2021

by

in

JawaPos.com – Pemerintah tengah menyusun formulasi dan rekomendasi kebijakan pengupahan 2021. Aspirasi seluruh pihak, termasuk buruh dijanjikan akan diakomodasi.

Plt. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI & Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Haiyani Rumondang mengatakan, dalam penetapan formulasi kebijakan pengupahan di masa pandemi, pemerintah akan tetap mendengar aspirasi semua pihak. Meski diakuinya, pandemi telah menyebabkan perlambatan ekonomi hampir seluruh sektor.

Haiyani menjelaskan, dari sudut pekerja/buruh, kondisi pandemi Covid-19 berdampak nyata pada penurunan penghasilan yang diterima. Sehingga mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya. Sementara dari sisi pengusaha, pandemi menyebabkan kesulitan karena permintaan menurun dan terbatasnya bahan baku. Kondisi ini pun akhirnya berdampak pada kelangsungan usahanya.

“Karena itu, diperlukan pemahaman seluruh pihak terhadap kondisi yang terjadi agar terjalinnya sinergitas,” ujarnya dalam keterangan resmi, kemarin (19/10).

Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman tersebut, pihaknya telah menggelar dialog Dewan Pengupahan se-Indonesia tentang hasil peninjauan komponen dan jenis komponen hidup layak (KHL) di tengah kondisi pandemi. Dialog dilakukan pada 15-17 Oktober 2020.

Peninjauan Komponen dan Jenis KHL ini diamanatkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) untuk dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun melalui penetapan Menaker. Penetapan tersebut juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan Nasional (Depenas). Depenas sendiri telah menyelesaikan kajian peninjauan Komponen dan Jenis KHL pada bulan Oktober 2019 sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Permenaker No. 21 Tahun 2016.

Nantinya, nilai KHL hasil peninjauan bakal dihitung dengan menggunakan informasi harga dari berbagai survei yang dilakukan BPS. Selanjutnya, perhitungan nilai KHL ini akan dilakukan oleh Dewan Pengupahan Daerah guna penetapan Upah Minimum tahun 2021.

Haiyani menegaskan, dalam pelaksanaan KHL ini hendaknya memperhatikan perlindungan pekerja/buruh dan kelangsungan berusaha. “Masa peninjauan KHL bukanlah kondisi yang diinginkan oleh semua pihak. Namun, dalam kondisi saat ini, pemerintah masih terus mendengar seluruh pihak,” ungkapnya.

Direktur Pengupahan Kemnaker Dinar Titus Jogaswitani menambahkan, peninjauan KHL dilakukan lima tahun sekali lantaran setiap lima tahun ini terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat. “Misalnya apakah kebutuhan beras, gula, atau baju tetap sama atau turun 5 tahun lalu dengan sekarang,” tuturnya.

Menurutnya, setelah dikaji dewan pengupahan dan direkomendasikan ke Menaker, telah ditindaklanjuti dengan keluarnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang KHL. Dari Permenaker tersebut, komponen KHL yang semula terdiri dari 60 jenis, kini berubah menjadi 64 jenis. KHL ini yang dijadikan sebagai salah satu formula penentuan upah di tahun 2021 mendatang. “Ada KHL yang bertambah, berubah dan ada yang diperbaiki. Di antaranya penambahan televisi, pulsa dan lainnya,” katanya.

Dinar menambahkan, Permenaker ini disosialisasikan ke anggota dewan pengupahan provinsi, kabupaten/kota.

Pada dialog tersebut, hadir Wakil Ketua Depenas, Adi Mahfudz (unsur pengusaha), Sunardi (unsur serikat pekerja/serikat buruh), serta 68 peserta dari Dewan Pengupahan Provinsi Seluruh Indonesia. Kemudian, 15 peserta dari unsur pemerintah, 18 peserta unsur pengusaha, 31 peserta dari SP/SB, serta 2 peserta dari Akademisi.

Serikat pekerja/buruh sendiri meminta agar upah minimum tahun depan naik. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, pandemi bukan alasan untuk tidak menaikkan upah/gaji pekerja di tahun depan. Mengingat, kondisi tahun ini sudah cukup sulit bagi pekerja terlebih dengan hadirnya RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. “Saya kira itu bukan alasan. Sebab kalau itu terjadi (upah tidak naik, red) buruh akan semakin tersudut dan terpuruk,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus berhitung. Bila upah tidak naik, maka konsumsi dan daya beli masyarakat akan semakin menurun. Apalagi saat ini, harga barang semakin tinggi. Hal ini tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. “Kalau upah minimum tidak naik, perekonomian bakal semakin tenggelam nanti. Sekarang saja sudah minus,” ungkapnya.

Kondisi ini tentu bisa semakin parah. Mengingat, banyak pekerja yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tentu ini menjadi masalah baru terkait konsumsi di grass roots. “Pemerintah dan pengusaha harus melihat ini sebagai cara untuk melindungi buruh,” tegasnya.

Kenaikan yang dituntut buruh tentu secara proporsional. Menurutnya, buruh juga memahami situasi saat ini. Namun, perlu digarisbawahi bila tidak semua perusahaan mengalami dampak buruk dari pandemi Covid-19 ini. Bidang manufaktur dinilai yang masih cukup stabil, tidak ada yang ditutup dan sangat sedikit pegawai yang dirumahkan. “Proporsional lah. Jangan tidak naik sama sekali,” tuturnya. Terlebih, tahun depan KHL sudah naik dari 60 menjadi 64 komponen. “Kalau ini berubah berarti kan kenaikannya harus ada,”sambungnya.

Nah, bagi sektor tertentu yang memang tidak mampu untuk menaikkan upah minimum, Elly merekomendasikan adanya bipartit dengan serikat pekerja/buruh. Perusahaan bisa berdiskusi mengenai alasan ketidakmampuan tersebut. Apabila terkait pendapatan, maka wajib menjabarkan posisi keuangan perushaaan. Sehingga, ada solusi bersama yang dapat disepakati. “Jadi ada win-win solution. Tapi jangan juga dibohongi pekerjanya dengan bilang rugi padahal tidak,” keluhnya.

Namun, apabila pengusaha dan pemerinath sepakat tak ada kenaikan, Elly mengatakan, bisa jadi membuat semua tidak nyaman. Gelombang aksi turun ke jalan bisa lebih masif lagi. (*)

 

Saksikan video menarik berikut ini:


Credit: Source link