Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac Badan Pangan PBB (FAO) Ratno Soetjiptadie. (Foto/laksito)
Jakarta – Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac FAO, Ratno Soetjiptadie mengatakan, adanya kerusakan tanah terjadi pada area yang luas dan penggunaan pestisida yang tidak bijak mengancam ketahanan pangan nasional.
Itu disampaiakn pada Diskusi Tebatas, “Produktivitas Padi versus Importasi Beras, Ada Apa?”yang diselenggaran Wartawan Kementerian Pertanian (Forwatan) di kantor Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Senin (9/7).
Ia memperkirakan, sekitar 69 persen tanah indonesia dikategorikan rusak parah lantaran penggunaan pupuk dan pestisida yang berleihan.
Menurutnya, ketahanan pangan (food securities) selama 2015-2080 sangat rentan terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan, serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam gagal pangan.
“Kita belum punya perencanaan. Kalau butuhnya 1 juta ton, mustinya produksi 1,5 juta ton sehingga ada stok 0,5 juta ton. Kita belum sampai ke sana,” ujarnya.
Selain itu, katanya, rendahnya sentuhan teknologi oleh petani, lantaran minimnya ilmu pengetahuan. Petani tidak dapat mengukur Ph tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Kemudian petani tidak bisa memilih benih unggul.
Bahkan, lanjutnya, ada petani di Kerawang memberikan pupuk pada tanaman padi hinga 1 ton. Petani beranggapan bahwa diberi input 1 kg, maka ada kenaikan produksi. Akibatnya biaya produksi beras di Indonesia cukup tinggi, dan salah satu kontribusinya dari pembelian pupuk.
Ratno mengatakan, biaya produksi beras Indonesia sebesar Rp5.900 per kilogram, Vietnam Rp2.300 per kg, Australia Rp1.800 per kg dan Amerika Serikat Rp 900 per kg.
“Ditakutkan jika tidak terobosan, indonesia akan tetap impor beras. Sementara sekitar 40 juta petani padi di Indonesia itu menghidupi penduduk 240 juta jiwa itu riskan,” ujar Ratno.
Dia menambahkan, apabila petani merugi, maka akan beralih profesi. Sehingga siapa yang akan menanam padi. Untuk itu, perlu ada program perbaikan tanah secepatnya atau Soil Amendment Programme (Program Pembugaran Tanah) dengan memperbaiki sifat biologi tanah.
“Selama ini kita hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia, sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan. Nenek moyang kita jaman dulu tidak ada pupuk, tapi bisa menanam dan panen. Pada saat intesif mennggunakan pupuk, produksi malah turun atau terjadi gagal panen,” tukasnya.
Solusinya, dalam membangun pertanian harus berkelanjutan, tidak bisa hanya lima tahun. “Ganti pemerintahan, ganti kebijakan. Karena yang bisa menyelematkan negara ini adalah sektor pertanian dan perikanan,” terangnya.
TAGS : FAO Kementan Ratno Soetjiptadie tanah petisida
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin