Karyono Wibowo, Direktur Eksekutif IPI
Jakarta, Jurnas.com – Pemerhati Sosial Politik dan Kebangsaan dari Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, ada pelajaran tentang kenegarawanan di balik kontroversi atas penganugerahan Bintang Mahaputra Nararya kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Karyono mencoba menelisik motif Presiden Joko Widodo memberikan penghormatan kepada kedua figur kontroversial itu. Mungkin saja Presiden Joko Widodo ingin membangun legacy sebagai negarawan yang menghormati kawan dan lawan politik.
“Ia (Presiden Joko Widodo) ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu memisahkan antara urusan politik dengan urusan negara. Melalui peristiwa ini Presiden Joko Widodo sedang memberikan contoh agar kita membedakan antara perbedaan pandangan politik dengan urusan negara,” jelas Karyono dalam keterangan tertulis, Kamis (13/8/2020).
Karyono menjelaskan, publik terkejut dan dunia maya geger saat muncul kabar bahwa Fadli Zon dan Fahri Hamzah akan mendapatkan Bintang Mahaputra Nararya. Ada yang tidak percaya, bahkan seolah menggugat pemberian penghargaan yang cukup prestisius itu.
Dalam benak publik, jelas Karyono, sedikitnya ada dua hal yaitu pertama mempertanyakan apa jasa yang luar biasa dari kedua politisi tersebut. Hal kedua, adalah menghubungkan dengan sikap “nyinyir” kedua politisi itu khususnya terhadap pemerintahan Jokowi.
“Soal penilaian jasa Fadli dan Fachri tentu sudah melalui sejumlah pertimbangan. Salah satunya mungkin dilihat dari pengabdiannya ketika mereka menjadi pejabat negara, yaitu wakil ketua DPR, dan sebagai wakil rakyat,” ungkapnya.
Bagi Karyono, sikap kritis Fadli dan Fahri terhadap Jokowi dan pemerintah ataupun sikapnya yang sering nyinyir merupakan persoalan tersendiri yang tidak otomatis menegasikan jasa-jasanya pada saat menjadi abdi negara.
Ia mengingatkan bahwa harus dibedakan antara sikap politik (kepentingan partai) dengan sikap kenegaraan. Terlebih perdebatan soal penganugerahan bintang jasa kehormatan tidak hanya terjadi kali ini.
Bahkan tak jarang penganugerahan gelar pahlawan juga kerap mengundang perdebatan, pro dan kontra. Ada yang menilai layak dan ada yang menilai tidak layak dengan pelbagai pertimbangan dan alasan.
“Pemberian Bintang Mahaputra Nararya kepada Fadli dan Fahri pun menimbulkan kontroversi. Tapi pemberian penghargaan tersebut sudah sesuai peraturan perundang-undangan. Kini Fahri Hamzah dan Fadli Zon sudah menerima Bintang Mahaputra Nararya. Biarlah rakyat yang menilai,” kata Karyono.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Bagi Karyono, pertanyaan yang muncul di benak publik sekarang adalah bagaimana sikap Fadli Zon dan Fahri Hamzah setelah mendapat penghargaan prestisius tersebut. Apakah masih nyinyir. Masih akan kritis terhadap Jokowi dan pemerintah.
Menjawab pertanyaan ini, Karyono mengingatkan bahwa antara nyinyir dan kritis itu harus dibedakan. Nyinyir dan kritis sama-sama merupakan kata sifat.
Kata “nyinyir” menurut KBBI adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet. Sedangkan makna “kritis” di bagian makna ke 2, menurut KBBI dapat diartikan bersifat tidak lekas percaya; bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; tajam dalam penganalisisan.
Oleh karena itu, lanjut Karyono, nyinyir belum tentu kritis, dan kritis belum tentu nyinyir. Ada orang yang sekadar nyinyir tapi substansinya tidak mengandung unsur kritik. Ada juga orang yang kritis terhadap suatu masalah tetapi belum tentu nyinyir.
“Nah, Fadli Zon dan Fahri Hamzah ini dinilai publik memiliki kemiripan gaya berkomunikasi di ruang publik. Keduanya sama sama suka nyinyir, sama sama memiliki sifat kritis,” ungkap Karyono.
Masalahnya, jika nyinyir itu sudah menjadi watak dan tabiat, maka sulit untuk merubah. Beda jika sifat nyinyir tersebut hanya sekadar tuntutan peran seorang aktor politik atau sinetron/film.
“Nah disini perlu diuji, apakah kenyinyiran Fadli dan Fahri ini watak atau sekadar peran. Mungkin waktu yang akan menentukan,” katanya.
Karyono mengingatkan bahwa sikap kritis justru baik untuk membangun demokrasi yang sehat. Pemerintahan dalam negara demokrasi perlu check and balances. Namun, yang perlu diperbaiki adalah cara-cara kritik yang kerap melampaui makna kritik itu sendiri.
“Kritik beda dengan caci maki. Kritik beda dengan fitnah. Maka dari itu, saatnya sekarang merubah paradigma kritik destruktif menjadi kritik konstruktif agar energi demokrasi menjadi positif untuk memajukan bangsa dan negara yang penuh dengan tantangan,” tuntas Karyono.
TAGS : Fadli Zon Fahri Hamzah Karyono Wibowo Bintang Mahaputra
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin