Pengusaha Desak Kejelasan Regulasi Harga Benih Lobster

JawaPos.com – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diminta segera mengatur regulasi ekspor benur lobster. Hal ini agar tidak terkadi sengkarut dan ketidakpastian aturan, terutama soal harga batas atas dan batas bawah dari nelayan ke pengusaha, dan dari pengusaha kepada pembeli di Vietnam.

Regulasi itu dibutuhkan untuk mencegah terjadinya permainan harga di tingkat pengepul dan pembeli di Vietnam, yang dapat membuat eksportir merugi. Sebab, dengan luas lautan mencapai 3,25 juta km2 dari total luas Indonesia yang mencapai 7,81 juta km2, hasil tangkapan benih lobster di Indonesia sangat luar biasa.

Bahkan, menurut pakar komunikasi politik Effendi Gozali yang menjadi salah anggota tim pakar mantan menteri KKP Edhy Prabowo, dalam webinar Rembug Nasional bertajuk “Stop atau Tata Ulang Ekspor Bibit Lobster”, (30/11) menyebutkan, dari hasil penelitian Badan Riset KKP pada tahun 2019, saat jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan masih dijabat Susi Pudjiastuti, pada bab 5 halaman 28 buku hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa potensi benih lobster di Indonesia dalam 1 tahun mencapai angka 850 miliar ekor. Meski ada memang yang mengatakan 100 miliar benih lobster.

Terkait potensi ini, CEO PT. Samudra Bahari Sukses (SBS) Willy menjelaskan, satu indukan lobster mutiara dapat menghasilkan 2,5 juta ekor benih, sedang lobster pasir dapat menghasilkan 500.000 ekor benih. Karena itu, apabila ekspor benih lobster ditutup, tetap saja alur pengiriman benih lobster ini berjalan dengan berbagai macam cara sampai di Vietnam.

“Jadi apabila keran ekspor benih lobster bisa dibuka lagi, hal ini justru memberikan potensi yang sangat bagus untuk memberikan pemasukan bagi nelayan dan juga memberikan potensi yang lebih banyak untuk pengembangan aspek budidaya lobster Indonesia,” katanya di Jakarta, (1/12).

Ia juga mempertanyakan, bagaimana kalangan swasta dapat mengembangkan budidaya lobster apabila keran ekspor benih lobster yang dapat menghasilkan profit tidak dibuka? Karena menurutnya, pada tahun 2016, ekspor benur dari Indonesia ke Vietnam mencapai 120 juta ekor. Sedangkan pada tahun ini, sejak dibukanya pengiriman benih lobster dari bulan Juni hingga akhir November, benih lobster yang diekspor baru mencapai 40 juta ekor.

Willy juga mengakui, kesulitan pengusaha eksportir selama ini dalam mengekspor benur adalah tidak adanya regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang harga batas minimal dan maksimal penjualan benih lobster dari nelayan kepada perusahaan eksportir, serta penetapan harga batas bawah dengan grading terjelek benih lobster dari pengusaha kepada pembeli di Vietnam.

“Harus ada selisih harga antara maksimum penjualan dari nelayan ke perusahaan dengan harga batas bawah penjualan ke Vietnam, sehingga tak sedikit ekportir yang justru mengalami kerugian akibat biaya tinggi yang muncul sebagai akibatnya,” ucapnya.

Lebih lanjut Willy menuturkan, eksportir umumnya mendapatkan benur dari pengepul, bukan dari nelayan langsung, sehingga harganya telah sangat tinggi dan sulit ditawar, karena jika kita memberikan penawaran yang dinilai rendah, pengepul akan menjualnya kepada pembeli yang berani membayar harga lebih tinggi.

Setelah benih didapatkan dan kelengkapan surat-surat untuk keperluan ekspor diurus, setelah diterbangkan ke Vietnam, kemungkinan hal-hal yang bisa terjadi juga masih ada, seperti harga di Vietnam yang tiba-tiba saja turun karena terjadi permainan oknum-oknum di Vietnam dan perhitungan grading (klasifikasi), sehingga harga jual yang didapatkan eksportir menjadi lebih rendah dibanding harga beli dan biaya operasional.

“Saya adalah pengusaha baru untuk ekspor benih lobster. Dikarenakan pandemi, saya coba mendalami dan terjun di bidang usaha BBL ini. Sampai ekspor benur ditutup sementara kemarin, saya sudah puluhan kali mengekspor benur, akan tetapi dari total puluhan kali eksport, total pendapatan minus,” katanya.

Ia juga menjelaskan, banyak aspek yang membuat minus tersebut, karena keuntungan pemberangkatan per-trip tidak sebanding apabila terjadi kerugian untuk satu trip saja. Seperti keterlambatan pesawat, harga jual di Vietnam tiba-tiba turun, selisih harga pembelian dan penjualan yang tidak tetap, grading klasifikasi benur, pembayaran cargo dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus sesuai dengan pengeluaran SPWP, dan karena sesampainya BBL di Vietnam pasti ada yang mati.

Karena itu, Willy meminta agar KKP turun tangan dengan membuat regulasi yang menetapkan harga batas bawah dan batas atas pembelian BBL dari nelayan kepada perusahaan eksportir, serta penetapan harga batas bawah dengan grading terjelek benih lobster dari pengusaha kepada pembeli di Vietnam, dan juga sekaligus ditetapkan disparitas selisih harga antara maksimum penjualan dari nelayan dengan harga batas bawah grading black/bad penjualan ke Vietnam, sehingga harga dapat dikontrol dan tidak dipermainkan sesukanya.

“Regulasi tersebut sebaiknya segera direalisasikan, dan agar dapat terimplementasi dengan baik, KKP juga harus membentuk Badan Pengawas,” imbuhnya.

Diketahui, saat ini ada sekitar 65 eksportir benur di seluruh Indonesia. Ekspor komoditi ini sempat dilarang pada 2014-2019 di era Menteri Kelautan dan Perikanan dijabat Susi Pudjiastuti melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2019 tentang Larangan Penangkapan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan dari Indonesia.

Pada 2019, saat jabatan Menteri KKP beralih ke Edhy Prabowo, ekspor lobster kembali diizinkan dengan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Indonesia.

Permen ini kemudian menjadi masalah karena pada pelaksanaannya diduga terjadi monopoli karena Edhy hanya menunjuk satu perusahaan cargo yang digunakan para eksportir untuk mengirimkan benur ke Vietnam, yakni PT Aero Citra Kargo (ACK), sehingga Edhy ditangkap KPK dan telah pula ditetapkan sebagai tersangka.

Terlepas dari kasus yang membelit ekspor benur, Willy berharap tata niaga tak lagi ditangani oleh asosiasi, melainkan oleh KKP.

“KKP adalah instansi pemerintahan, sekaligus regulator. Jadi, sebenarnya peranan asosiasi dalam tata niaga ekspor benur malah menjadikan sarana monopoli bagi segelintir pihak, karena ini merupakan kewenangan KKP “ tutupnya.


Credit: Source link