JawaPos.com – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan kantor Kementerian Kesehatan menjadi kasus terbanyak di klaster perkantoran. Kondisi ini disorot publik sebab Kemenkes menjadi contoh untuk menerapkan kepatuhan protokol kesehatan kepada publik.
Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menilai banyak faktor yang bisa menyebabkan hal itu. Klaster perkantoran secara umum terjadi karena masih adanya celah atau kelalaian secara personal. Dia meminta semua individu mulai sekarang menganggap orang lain adalah Orang Tanpa Gejala (OTG).
“Mungkin berpikir sebagai orang kesehatan mengerti segala macam. Tapi memang harus diakui ada kalanya kita abai. Merasa teman kita itu tak positif. Makanya saya declare, jika di manapun kita berada, anggap saja semua orang adalah OTG,” katanya secara daring dalam Live Instagram, Kamis malam (17/9).
Lalu mengapa di kantor Kementerian Kesehatan paling banyak? Menurutnya, tentu saja pegawai yang saat ini bersentuhan langsung dengan kesehatan adalah yang paling berjibaku dengan lingkungan menjadi garda terdepan. Orang-orang di bidang kesehatan itu menurutnya turun langsung melakukan surveilens dan berinteraksi.
“Mereka itu yang memang mesti masuk ke masyarakat. Di puskesmas, RS, dan lainnya. Orang-orang lain kerja di rumah, tapi orang di Kemenkes atau bidang kesehatan lain mesti datang, analisis data,” jelasnya.
Kondisi itu menurut dr. Ari kemungkinan membuat masing-masing individu lengah. Interaksi di antara pegawai Kemenkes cukup tinggi. “Mungkin suatu saat lengah kerja, buka, minum, teman sama-sama minum. Begitu kejadiannya. Semua orang di kesehatan, nakes, Kemenkes, sekarang mereka jungkir balik semuanya,” katanya.
“Lalu dokter saja bisa kena. Dokter semua ketemu pasien, makanya mereka berisiko. Justru didoain ya, mereka paling berisiko untuk kena kalau kebetulan jumlah virusnya banyak. Saya juga sedih ternyata di kantor-kantor kesehatan banyak, tapi saya maklum, karena mereka berjibaku,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Mohammad Adib Khumaidi menilai secara umum klaster di perkantoran bisa terjadi karena 3 hal. Pertama, yaitu fasilitas kantor harus sesuai protokol kesehatan dari mulai ruangan dan gedungnya, ventilasi udara, physical distancing, hingga air purifier, dan AC yang tersedia.
Kedua, adalah kepatuhan terhadap semua protokol kesehatan. Bagaimana protokol saat rapat, saat istirahat atau di ruang kerja. Ketentuan-ketentuan untuk menghindari makan bersama di warung atau kantin apakah sudah menjalankan protokol dengan jaga jarak. Perlu ada evaluasi pengelola kantor.
Ketiga yaitu riwayat perjalanan dinas pegawai yang kemudian bisa menjadi satu pemicu munculnya beberapa kasus. Sesuai ketentuan, evaluasi harus dilakukan oleh komite pengawasan yang menilai regulasi standarisasi protokol di perkantoran.
“Ada SOP enggak, di perkantoran. Tak cukup sekadar cek suhu atau hand sanitizer saja,” jelasnya.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar kasus yang ditemukan di sejumlah perkantoran memang ada baiknya membuat kantor ditutup sementara. Sehingga bisa melakukan pelacakan kontak atau tracing dengan optimal.
“Divisi apa yang kena? Apakah hanya satu divisi, lebih mudah lagi tracing di internalnya, habis dari perjalanan dinas dan lainnya. Harus di-tracing ditelusuri terus,” katanya.
Atau seorang pegawai bisa saja tertular saat perjalanan pulang pergi dari rumah ke kantor. Jika itu yang terjadi, menurut dr. Adib hal itu sudah tanggung jawab individu atau personal.
“Pulang ke rumah, itu personal ya. Sebagai tenaga kesehatan kita jadi role model juga. Maka kita harus jadi role model di tempat kita kerja. Jika di RS patuh, maka saat berinteraksi dengan teman atau saat pulang ke rumah seperti apa protokolnya juga harus patuh,” tandasnya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Editor : Edy Pramana
Reporter : Marieska Harya Virdhani
Credit: Source link