DENPASAR, BALIPOST. com – Gubernur Bali, Wayan Koster bersama Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) terus menggalakan agar ekosistem alam Bali menjadi bersih dan lestari secara berkelanjutan. Ini dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik; Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai; Pergub Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih; Pergub Bali Nomor 48 Tahun 2019 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai; Pergub Provinsi Bali Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut; dan Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Tidak melalui kebijakan saja, namun secara nyata Gubernur Koster telah memfasilitasi pembangunan 239 TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah – Reduce Reuse Recycle) di kabupaten/kota se-Bali, 3 TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) di Kota Denpasar, 2 TPST di Kabupaten Badung, 1 TPST masing-masing terdapat di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Jembrana untuk mewujudkan Bali bersih dari pencemaran sampah.
Kemudian di dalam memenuhi kebutuhan air bersih di Bali dan mencegah kerusakan ekosistem alam akibat pengeboran air bawah tanah, kini Gubernur Koster sedang membangun 2 bendungan, yaitu Bendungan Tamblang di Kabupaten Buleleng dan Bendungan Sidan yang berada di wilayah Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Bangli yang bersumber dari APBN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Selain itu, agar alam Bali ini bersih dari polusi kendaraan berbahan bakar minyak, secara konsisten Gubernur Koster terus mengkampanyekan penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Bali. Sampai tidak henti-hentinya mengajak petani, pelaku usaha pertanian dan perkebunan untuk meniadakan penggunaan pupuk kimia di lahan pertanian maupun perkebunan dengan memberi solusi menggunakan pupuk organik. Sehingga, berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali tercatat luas pertanian organik di Bali telah menuju 35 ribu hektare dari total luas lahan 70.966 hektare. Sistem pertanian organik juga sudah menjalar sampai ke subsektor perkebunan. Di Bali, lahan kebun organik telah mencapai 154 ribu hektare dari total lahan perkebunan seluas 201 ribu hektare.
Dosen Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Dr. Ni Luh Kartini menilai Gubernur Koster merupakan pemimpin yang serius memikirkan kondisi ekosistem alam Bali dengan memiliki cita-cita bagaimana agar Pulau Bali menjadi pulau organik. Sehingga dengan dikeluarnya Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik merupakan langkah yang sangat tepat. Kartini mengatakan sawah di Bali harus terus dipertahankan secara organik maupun jumlah luasannya. Karena sekarang sawah di Bali kondisinya sangat tidak subur akibat gempuran pupuk kimia dan luasannya menyempit. Kalau hal ini dibiarkan, maka dampaknya sangat besar. Dimana selain Bali mengalami ketahanan pangan, Bali juga akan defisit air.
Apalagi, dikatakan bahwa Bagi leluhur Bali sawah itu ibaratkan danau kecil yang menjadi sumber penghidupan. Leluhur Bali memanfaatkan sawah, agar Bali ini tidak kekurangan air, sehingga dibuatkanlah organisasi tradisional berbasis adat dan budaya Bali dikenal dengan sebutan Subak yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi untuk mengairi setiap petak area persawahan.
Untuk itu, Perda Sistem Pertanian Organik yang dikeluarkan Gubernur Koster sangatlah tepat sebagai upaya menjaga keseluruhan ekosistem alam di Bali. Mulai dari unsur tanah, binatang, air, sampai kualitas tumbuhan pangan menjadi sehat tanpa pencemaran kimia. “Saya berharap perda ini harus diimplementasikan secara masif, tidak saja oleh gubernur, namun bupati/walikota se-Bali, camat dan perangkat pemerintahan desa sampai bendesa adat, kelian subak agar serius menjaga eksistensi sawah di wilayahnya masing-masing, baik secara organik maupun jumlah luasan sawah agar berjaya dari ancaman pembangunan (pengkaplingan dan pembangunan villa, hotel,red),” tandas Ni Luh Kartini.
Tidak hanya itu, kepala desa, bendesa adat, kelian subak juga harus bersatu menjaga sawah secara organik. Bupati/walikota se-Bali juga harus wajib memberikan dukungan kepada subak dengan memberikan bantuan pendampingan secara intensif dari hulu ke hilir. Bantuan subsidi pupuk organik, pendampingan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan dan meniadakan ijin pembangunan disepanjang areal sawah. Kemudian, Gubernur Bali yang sudah mengeluarkan regulasi, juga harus memberi jaminan pasar kepada para petani yang mengeluarkan produk organik. Seperti apa yang sudah dilakukan Gubernur Koster di dalam memfasilitasi produk pertanian lokal Bali ke hotel. “Gubernur Bali saya harapkan memberikan reward kepada subak hingga bupati/walikota se-Bali yang telah bekerja serius menciptakan sawah organik maupun menjaga luasan sawah tetap eksis sepanjang jaman,” tegas Ni Luh Kartini.
Ketua Forum Danau Nusantara ini menilai upaya menjaga ekosistem alam Bali tidak saja dilaksanakan dari hilir, namun hulunya juga perlu diberikan perlindungan secara ekstra. Sehingga, Pergub Bali tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut yang digagas Gubernur Koster merupakan upaya untuk memuliakan anugerah alam Bali yang telah memberikan Pulau Dewata sebanyak 4 danau (Danau Batur, Danau Beratan, Danau Tamblingan, dan Danau Buyan) yang kondisinya diketahui dalam keadaan sangat memprihatinkan. “Hasil analisis di Danau Batur, menunjukkan kualitas air danau sekarang sudah masuk kelas III atau tidak layak untuk air minum sampai tidak layak menjadi sumber air pertanian. Hal ini disebabkan, elastisitas Danau Batur mulai berkurang, makanya terjadinya peningkatan volume air di Danau dan terjadinya penurunan volume sumber mata air yang ada di sekitaran danau,” ujar Luh Kartini.
Dijelaskan, elastisitas itu yaitu air yang keluar dari pori-pori danau dalam kondisi menurun, akibat terjadinya sidimentasi. Penyebab sidimentasi, karena telah terjadi perambahan hutan konservasi di atas Danau Batur menjadi kebun. Begitu juga terjadi di Danau Buyan. “Masalah di Danau Batur kian diperparah, akibat adanya aktivitas keramba. Sehingga saya berharap Pemerintah mulai mengajak masyarakat yang melakukan aktivitas keramba untuk beralih ke profesi lainnya, mungkin dengan memberikan subsidi, karena Danau itu tidak boleh terdapat keramba, kalau terus bertambah keramba di danau, maka ekosistem danau menjadi terancam rusak parah,” ungkapnya.
Kebijakan Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut menurut Luh Kartini adalah bentuk rasa tanggungjawab besar yang sedang diemban oleh Gubernur Koster untuk lebih bekerja keras mengembalikan ekosistem danau di Bali supaya kembali sehat dan berkualitas. Mengingat sudah lama tidak ada yang memperhatikan kondisi danau di Bali. “Ini masalah serius, tidak hanya Gubernur Bali yang bekerja mengembalikan ekosistem danau menjadi sehat, namun Pemerintah Pusat, provinsi, kabupaten di Bali yang wilayahnya terdapat danau harus gotong royong memberikan solusi dari ancaman yang terjadi di danau. Apalagi danau di Bali merupakan sumber penghidupan Pulau Bali. Saya minta sepanjang sempadan danau agar meniadakan pembangunan, apabila ada yang menodai sempadan danau, maka perlu diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Petani Muda Keren, Anak Agung Gede Agung Wedhatama menilai Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik sangat baik dampaknya bagi pertanian Bali untuk menjaga ekosistem alam Bali dari masa kini dan masa depan. Apalagi, perda ini secara nyata dan langsung sangat mendukung pertanian Bali berbasis keselarasan alam atau organik yang sangat fundamental bagi masyarakat Bali terutama dalam sektor pertanian. Menurutnya, Sistem Pertanian Organik yang digagas Gubernur Koster sangat ramah terhadap lingkungan yang merupakan warisan budaya leluhur Bali dengan mengedepankan sinergitas antara manusia, alam, dan lingkungan. Perda Sistem Pertanian Organik secara langsung juga “mengikat” masyarakat pertanian di Bali untuk menjaga ekosistem alam Bali secara holistik, mulai dari menjaga hutan, menjaga sumber air, menjaga kesehatan tanah serta menjaga konsumen untuk tetap sehat dan bekelanjutan.
“Jadi Perda Sistem Pertanian Organik merupakan ide revolusioner Bapak Gubernur Wayan Koster untuk menjaga kesehatan ekosistem alam Bali dari gempuran produk kimia, hingga menjaga kesehatan pangan yang akan dikonsumsi masyarakat Bali. Ini ide cemerlang yang cukup berani di dalam maraknya perusakan alam dan lingkungan akibat produk- produk sintetis / kimia baik berupa pupuk, pestisida, herbisida dan sebagainya,” tandasnya.
Oleh karena itu, ia mengajak mesyarakat khususnya para petani agar regulasi ini harus diimplementasikan. Sehingga, masyarakat selain bertani juga menjaga alam dan lingkungannya, serta manusia. Sehingga tanah, air, petani, pangan, dan konsumen yang sehat merupakan output langsung yang akan diperoleh. Apalagi hasil pertanian di Bali selalu menjadi primadona pasar ekspor. Karena brand Bali yang begitu kuat di mancanegara, ditambah lagi Bali sebagai penghasil produk pertanian seperti palawija, hortikultura sampai perkebunan. “Dengan merawat ekosistem alam dengan melakukan prilaku organik yang tersertifikasi, otomatis nilai tambah produk pertanian petani Bali akan meningkat, baik secara kualitas, produktifitas maupun harga produk menjadi meningkat, lalu manfaat ekonominya dirasakan oleh petani itu sendiri,” ujarnya.
Apabila Perda Sistem Pertanian Organik ini serius dijalankan secara berkelanjutan, ia yakin Bali akan menjadi pulau spesial yang otentik dengan value “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, dan niscaya Bali akan menjadi role model nasional hingga dunia dalam penerapan Sustainability Farming, Green Economy serta Future Better Life. “Untuk itu, saya berharap pemerintah harus mempercepat pembuatan Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) sebagai wadah legal tersertifikasinya kebun-kebun organik para petani di Bali. Dengan adanya lembaga ini, maka petani akan mendapatkan legitimasi serta kepercayaan dari pasar baik lokal, nasional maupun ekspor. Pemerintah kabupaten/kota di Bali dan desa se-Bali juga kami harapkan menangkap Perda Sistem Pertanian Organik ini sebagai isu strategis di desa dengan membuat Perbup/Perdes terkait pertanian organik, lalu mengimplementasikannya. Seperti, penggunaan pupuk organik, pelarangan penembakan/penangkapan Burung, pelarangan penebangan hutan, pelarangan penggunaan pestisida / hebisida sistemik, dan sebagainya. Karena dengan kita memuliakan alam melalui laku organik, maka secara holistik Bali akan terjaga kelestariannya. Dengan begitu sudah pasti pariwisata akan datang dengan sendirinya dan ini menjadi bonus baik dimasing-masing kabupaten/kota maupun desa se-Bali,” tandasnya.
Ketua Forum DAS Bali, Dr. Ir. I Made Sudarma, MS., menilai Gubernur Koster adalah pemimpin yang sangat komit terhadap perlindungan lingkungan untuk menjaga ekosistem alam Bali dengan nilai-nilai kearifan lokal Bali, Sad Kerthi yang tertuang dalam visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”. Dari nilai-nilai Sad Kerthi, Sudarma melihat ada yang berpihak kepada ekosistem alam Bali, yaitu Segara Kerthi (penyucian dan pemuliaan pantai, laut), Danu Kerthi (penyucian dan pemuliaan sumber air), dan Wana Kerthi (penyucian dan pemuliaan tumbuh- tumbuhan).
Sehingga Pergub Bali tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pergub Bali tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut, hingga Pergub Bali tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber yang dikeluarkan Gubernur Bali harus terus di Monev untuk mengetahui seberapa besar program ini berjalan.
Kemudian di dalam mengatasi permasalahan lingkungan, kanjut Sudarma ini merupakan tugas bersama. Tidak saja dibebankan kepada Pemerintah Provinsi Bali, namun persoalan lingkungan seperti sampah plastik sampai perlindungan danau, mata air, sungai dan laut, sudah seyogyanya dilakukan oleh seluruh stakeholder dengan cara bertanggungjawab.
Partisipasi masyarakat juga sangat menentukan dalam melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber, seperti memilah sampah. Selain itu, Bali perlu juga menegakkan law in postman atau penegakan hukum kepada siapapun yang terbukti membuang sampah sembarangan. “Kita harus belajar dari kasus penggunaan helm dan masker. Rasanya kalau tanpa penegakan hukum, rasanya susah untuk di Bali bisa menertibkan perilaku buang sampah sembarangan. Begitu penegakan hukum berjalan dengan baik, seperti penggunaan masker kemarin, sekarang orang sudah disuruh lepas masker tetapi masih banyak orang yang menggunakan masker dan bagi mereka itu adalah kebutuhan untuk kesehatan. Demikian juga harus dilakukan untuk persoalan sampah ini, agar semua lapisan masyarakat tertib dan disiplin menyelamatkan ekosistem alam di Bali, salah satunya dari ancaman sampah,” kata Made Sudarma yang juga merupakan Dosen Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana Unud.
Made Sudarma juga mengapresiasi langkah Gubernur Koster dengan menerapkan konsep kearifan lokal Bali, Wana Kerthi kepada masyarakat untuk menjaga alam Bali. Karena, Gubernur Bali sudah melihat hutan itu tidak saja berfungsi sebatas menyediakan oksigen dan mengurangi emisi karbon, namun hutan juga sangat penting untuk menyediakan air tanah.
Kalau hutan ini hancur, maka air yang bersumber dari hujan tidak ada yang masuk ke dalam tanah. Sehingga kegiatan konservasi dan pelestarian hutan harus dilakukan bersama. Kemudian daerah hulu yang mengalami erosi harus dibenahi, reboisasi, dan pulihkan. Sehingga fungsi dari pada tanah, fungsi dari DAS, maupun fungsi dari hutan itu bisa untuk menjaga air dalam bentuk air tanah. “Pelestarian hutan ini wajib dilakukan agar hutan berfungsi dengan baik, dan kita tidak hanya beraksi berapa jumlah pohon yang ditanam, tetapi mari kita beraksi untuk menghidupkan pohon. Hal ini dalam rangka untuk mengimbangi kerja Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster memenuhi kebutuhan air bersih di Bali dan mencegah kerusakan ekosistem alam akibat pengeboran air bawah tanah dengan melakukan pembangunan Bendungan Tamblang di Kabupaten Buleleng dan Bendungan Sidan di Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Bangli,” pungkasnya. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link