JawaPos.com – Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko mengatakan, sejak kwartal keempat 2018 hingga Oktober 2020, para peternak menjerit karena terus menerus mengalami kerugian besar. Padahal, menurutnya, industri perunggasan nasional melibatkan 13 juta tenaga kerja, dengan perputaran uang sebesar Rp 600 triliun per tahun.
“Penyebabnya karena impor berlebih, dan rekor harga terburuk terjadi pada maret 2020 akibat over suplay dan covid Covid-19,” ujar Singgih, yang juga anggota Komisi VI DPR RI dalam webinar “Mengembalikan Kejayaan Perunggasan Nasional”. Acara tersebut terselenggara atas kerja sama Kementerian Pertanian dan Harian Kompas.
Menurut Singgih, suplai yang berlebih di pasar, mengakibatkan harga ayam peternak lebih rendah dari Harga Pokok Penjualan (HPP) dan harga referensi dari Kementerian Perdagangan antara Rp19.000 hingga Rp 21.000.
“Akibat rendahnya harga pasar di bawah HPP, banyak peternak yang mengambil kredit usaha mengalami kemacetan,” imbuh Singgih.
Baca Juga: Jelang Natal dan Tahun Baru, Pinsar Minta Satgas Pangan Lakukan Ini
Modal mereka akhinrya tergerus, sehingga para peternak rakyat harus menutup kandang-kandang mereka. Selain itu, lanjut Singgih, masalah-masalah lain yang terjadi, antara lain ketersediaan dan harga sarana produksi peternakan (sapronak) yang meningkat.
Peternak juga merasakan naiknya harga pakan, yang disebabkan kenaikan harga bahan baku pakan ternak (SBM). Kemudian diikuti dengan menurunnya permintaan dari industri hotel, restoran, dan kafe (Horeka) akibat pandemi Covid-19.
Ancaman berikutnya yang bakal terjadi pada 2021 adalah terganggunya supply dan demand. Hal tersebut terjadi karena jumlah Grand Parent Stock (GPS), yang diimpor pada tahun 2019 sebanyak 735.500 ekor.
“Bandingkan dengan impor GPS pada tahun 2018, yang mencapai 743.827 ekor. Artinya terdapat kekurangan indukan,” ujar Singgih.
Namun Singgih menggarisbawahi, kebijakan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian, membuat harga ayam potong di pasar pada November 2020 membaik,
“Kami menyarankan agar Ditjen PKH membuat surat edaran lagi sampai april untuk menjaga agar para peternak dan industri mengurangi suplai, sehingga harga ayam potong di pasaran terjaga,” pungkas Singgih.
Lebih lanjut Singgih juga mengingatkan, pemerintah harusnya tanggap karena saat ini terdapat 15 juta orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam industri perunggasan. Karena itu, harga unggas di atas HPP harus tetap dijaga, agar terjangkau oleh masyarakat dan peternak mendapatkan untung.
“Jika itu dilakukan makam tak akan ada PHK atau merumahkan karyawan karena iklim usaha kondusif,” ujarnya.
Bahkan, Singgih memperkirakan bila perunggasan tak mendapat perhatian pemerintah dan semua pihak, kebangkrutan peternak unggas bisa memicu masalah besar. Misalnya urbanisasi yang meningkat ke perkotaan yang memicu kerawaan sosial.
Sementara itu, Dirjen PKH Kementerian Pertanian Nasrullah mengatakan, pihaknya bertugas mengurusi agar produksi unggas surplus, “Dari situ, tugas kami selesai, namun masalah ini merupakan masalah bersama. Dari pengamatan kami, permasalahannya terjadi pada hilir,” ujarnya.
Menurut Nasrullah pasar yang digarap industri dan peternak rakyat adalah pasar becek atau pasar rakyat. Sehingga, bila distribusi tidak merata akan mengganggu supply dan demand. Untuk itu, menurutnya perlu menggarap pasar-pasar lain atau diversifikasi produk,
“Terutama menggarap pasar ekspor. Kami akan membentangkan karpet merah dengan segala kemudahan bagi industri perunggasan yang menyasar pasar ekspor,” ujar Nasrullah.
Menurutnya, dalam kondisi over supply, para peternak dan industri harus mengurangi produksi untuk menjaga harga. Hal tersebut harus disadari semua pihak, “Jangan sampai ketika harga baik memanfatkan peluang, malah akhirnya mengganggu supply dan demand,” ujarnya.
Credit: Source link