JawaPos.com – Universitas Kristen (UK) Petra memperingati ulang tahun ke-13. Dalam perayaannya itu, UK Petra Program Finance and Investment mengadakan Webinar Digital Entrepreneurship Next Steps, Starting Now. Hal ini dilakukan untuk memberikan edukasi kepada generasi muda bangsa mengenai dunia perbankan, digital dan fintech serta mendorong generasi muda untuk lebih terbuka terhadap teknologi dan dunia digital dalam mengembangkan start up business.
“Tujuannya adalah menjadi digital leaders, salah satu aspek digital leaders adalah harapannya bisa memaksimalkan pemanfaatan berbagai teknologi digital untuk memaksimalkan bisnis startup. Itu bisa dimaksimalkan. Saya berharap teman-teman mahasiswa dapat memanfaatkan kesempatan ini,” ujar Rektor UK Petra Djwantoro Hardjito dalam acara tersebut, Jumat (25/9).
I Gede Raka Arimbawa selaku RCEO Bank Mandiri Region VIII/Jawa 3, menambahkan pengajaran ekonomi digital merupakan sebuah keharusan di dunia yang semakin berkembang dengan cepat ini. “Digitalisasi ini harus kita lakukan. Kita harus tiba duluan di masa depan, ktia harus tiba duluan, kita harus mulai dari sekarang dan itu yang kita lakukan di Mandiri,” tutur dia.
Kemudian, Director of Venture Fund Mandiri Capital Indonesia Joshua Agusta selaku pembicara, mengatakan bahwa dalam membuat startup tidaklah semudah yang dibayangkan. Berdasarkan data Harvard Business School, dalam setahun saja 95 persen startup berakhir dengan kegagalan.
“Jadi secara statistik 95 persen dari startup itu gagal, di awal tahun pertama itu 100 persen, sisanya cuma 5 persen (yang bertahan) di akhir tahun, itu di tahun ke 2 atau 3 biasanya tinggal 1 persen,” ungkap dia.
Dia pun membeberkan, alasan kenapa banyak startup yang gagal dalam menjalankan usahanya. Salah satunya adalah terkait dengan adaptasi yang cepat dengan kebutuhan pasar.
“Jadi mereka yang ngga bisa adaptasi dengan cepat ke market itu biasanya mereka akan mati, mereka yang mencoba untuk create something yang menurut pemiliknya dibutuhkan oleh market tapi validasinya salah, akhirnya market bilang ngga (butuh produk atau jasa yang ditawarkan), marketnya ngga ketemu, antara produk dan market need ngga ketemu dan akhirnya mereka gagal,” jelasnya.
Akhirnya, banyak dari mereka yang gulung tikar karena para startup tersebut membuat sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Pasalnya, menurut dia, menemukan kebutuhan pasar memerlukan waktu yang tidak sebentar, di mana hal tersebut lah yang paling menantang di antara seluruh tahap awal mengembangkan startup.
“Matching antara produk atau servis sama market needs yg sebenernya ada, itu yang paling susah. Misalnya, karena mereka (startup) tetap melakukan hal yang sama, tetap diterusin akhirnya cash abis dan gulung tikar,” tambahnya.
Selain itu, di kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, banyak startup yang memutuskan tutup. Pada awal mengembangkan startup, metode seperti bakar uang banyak dilakukan, tapi untuk sekarang tidak ada lagi dan lebih kepada resistensi dan stabilitas pendapatan perusahaan.
“Jadi pandemi seperti ini harus ada new habit adopt itu resiliensi yang lebih penting daripada sekedar pertumbuhan. Yang akan dilihat adalah perusahaan startup yang steady, tapi lebih ke arah kira-kira ketika dihadapkan dengan pandemi, mereka bisa bertahan ngga, mereka ada profitability atau tidak, punya cash management yang bagus atau tidak. Mungkin sebelumnya itu jarang dilihat oleh investor, post Covid kita akan mulai melihat hal-hal itu,” jelas dia.
Editor : Bintang Pradewo
Reporter : Saifan Zaking, ARM
Credit: Source link