Aktivis, Petrus Haryanto.
Jakarta, Jurnas.com – Aktivis Petrus Haryanto mengungkapkan bahwa rezim Orde Baru (Orba) Soeharto sudah sejak awal berusaha mengkambinghitamkan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang di balik peristiwa penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996.
Saat kejadian, Petrus memang beraktivitas di PRD bersama Budiman Sudjatmiko. Menurut Petrus, beberapa hari sebelum peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli), ia diperlihatkan koran yang mengupas deklarasi PRD yang digambarkan sebagai penjelmaan PKI yang harus dihancurkan.
Namun Petrus sudah memprediksi akan ada kejadian besar di desain oleh penguasa setelah berbicara dengan Alm. Munir, aktivis HAM saat itu.
“Saya ingat perjumpaan dengan Almarhum Munir, dia mengatakan `Petrus, ada data dari intelijen bahwa kantor PDI akan diserbu. Kalau perlu jatuh korban,” ujar Petrus.
Ia melanjutlan, Alm Munir menyebut akan diciptakan kerusuhan, dan kalian (PRD) menjadi kambing hitam`.
“Perkataan Munir jelas dan saya sampaikan ke kawan-kawan. Bahwa kantor PDI akan direbut dan kita akan menjadi tumbal peristiwa itu. Tapi saat itu kita tak tahu kapan akan direbutnya,” beber Petrus.
Namun, ada kejadian aneh karena sekitar pukul 02.00 WIB di 27 Juli 1996, ada wartawan dari media Gatra yang mendatangi sekretariat mereka.
“Jam 2-3 pagi, kita bingung kok ada wawancara? Kita baru ngeh, sebentar lagi akan ada kejadian luar biasa,” imbuhnya.
Ia pun menuliskan surat yang dituliskan di kertas kecil-kecil untuk disebar ke seluruh aktivis di jalan. Isinya menginstruksikan agar semua mundur dan tak mendekat ke kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
“Baru beberapa menit instruksi saya, bis tingkat PPD meledak di depan RSCM. Massa begitu banyak dipukul mundur menuju Saint Carolus. Habis mobil meledak, di sepanjang jalan terjadi pembakaran, entah siapa yang memulai. Entah skenario by design, tetapi hanya satu gedung militer terbakar, kebanyakan gedung bank dan dealer,” bebernya.
“Setelahnya banyak mobil PPD juga dibakar. Pertokoan dilempari. Itu manifestasi dari kemarahan bahwa Soeharto tega betul melakukan perebutan itu dan berdarah darah. Sampai malam terjadi proses perlawanan itu. Dan ketika rakyat ada di jalan, kami sudah mundur dan bersembunyi karena tahu kita akan dijadikan kambing hitam. Kita rapat dan siapkan jawaban dan aksi jika dikejar,” tambahnya.
Dan narasi penguasa benar-benar terjadi dimana pada 29 Juli, PRD disebut sebagai dalang kerusuhan dan penjelmaan PKI. Petrus dan kawan-kawan diburu, bahkan Pemerintah juga mengorganisir organisasi sosial politik.
Dia mengingat bahwa pada 11 Agustus 1996, dirinya ditangkap bersama Budiman ketika berada di kediaman kakak Romo Sandyawan. Bersama Budiman, dirinya menolak tawaran penyelamatan dari berbagai individu untuk melarikan diri ke luar negeri.
“Kami tertangkap 11 Agustus. Aku, Budiman, dibawa ke sebuah tempat. Saya ditodong pistol di perut, dibawa ke sebuah tempat. Dan saya ingat karena mata saya tak ditutup, saya bisa melihat setelah perempatan Mal Pejaten Village, belok kanan, ada jalan menuju perbukitan. Disitu ada tulisan Wisma Sudirman,” ungkap Petrus.
“Disitu tempat rahasia, dimana tempat penyiksaan, interogasi, ada penjara, selnya, lapangannya. Tapi masyarakat sekitar situ tak ada tahu tempat rahasia Badan Intelijen ABRI,” bebernya.
Di tempat itu, dia mengaku disiksa dan ditahan. Pada 29 jam pertama, dirinya tak boleh istirahat dan diinterogasi terus menerus. Setelah 7 hari disekap, Petrus mengaku akhirnya diserahkan ke Kejaksaan Agung dan ditahan di sana selama 3 bulan, sebelum akhirnya dipindah ke Cipinang dan diadili.
TAGS : Petrus Haryanto PRD Alm. Munir Kudatuli
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin