Ridwan Kamil
Oleh : Hersubeno Arief
Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) tengah menghadapi politik jalan buntu (kuldesak). Pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekjen Golkar Idrus Marham tidak akan mendukungnya, menjadi semacam “vonis mati” baginya.
Sebagai pemegang kursi terbesar di DPRD Jabar –PDIP 20 kursi dan Golkar 17 kursi–keputusan kedua partai bisa menjadi penentu apakah seorang kandidat bisa maju dalam pilkada atau tidak.
Untuk maju dalam Pilkada Jabar, seorang kandidat harus didukung oleh minimal partai atau gabungan partai yang memiliki kursi 20% dari total 100 kursi di DPRD Jabar.
RK saat ini baru didukung oleh Nasdem yang hanya memiliki 5 kursi. Jadi masih kurang 15 kursi lagi. Dengan modal dukungan Nasdem yang menjadi partai pendukung pemerintah dan janji akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019, harusnya dia tidak akan kesulitan mendapatkan tiket. Wajar bila RK selama ini terkesan sangat percaya diri (pede), bahkan mungkin over pede.
PDIP dan Golkar adalah partai pendukung pemerintahan Jokowi. Golkar seperti halnya Nasdem sudah sejak awal menyatakan akan mendukung Jokowi.
Secara kalkulasi politik sangat wajar bila PDIP atau setidaknya Golkar, juga akan mendukung RK. Mereka adalah sekutu yang dipersatukan dalam satu kepentingan, sama-sama mengamankan jalannya Jokowi ke kursi kepresidenan untuk periode kedua.
Harapan RK semakin membuncah ketika Idrus Marham beberapa hari sebelumnya menyatakan niatnya menjadi mak comblang untuk menjodohkan RK dengan Ketua Golkar Jabar Dedi Mulyadi (Demul). Idrus bahkan menyebut sangat terbuka kemungkinan Demul menjadi cawagub kendati dia telah mendapat rekomendasi dari DPP Golkar sebagai cagub. DPD PDIP Jabar juga menyatakan hal yang sama, bahwa mereka terus menjalin komunikasi dengan RK.
Sebagai calon pengantin RK menjadi di atas angin. Sejumlah lembaga survei selalu menempatkannya di posisi teratas dalam soal tingkat keterpilihan (elektabilitas). Para pimpinan partai juga seolah memberi angin surga kepadanya.
Namun arah angin politik memang selalu sulit diduga. TIdak bisa diprediksi seperti halnya BMKG membuat prakiraan cuaca. Hanya dalam beberapa hari cuaca politik yang sangat cerah dan angin semilir berhembus melenakan RK, tiba-tiba saja cuacanya berubah.
Ketika bertemu Hasto di rumahnya, Idrus Marham mengoreksi pernyataan sebelumnya akan mendukung RK. Menurutnya Golkar sudah berkomunikasi dengan RK, namun tidak ada kecocokan.
Sementara Hasto menyebut deklarasi RK bersama Nasdem menjadi penyebab PDIP memutuskan untuk tidak melanjutkan komunikasi dengan Walikota Bandung itu.
Tanda-tanda bahwa RK batal dijodohkan dengan Demul sudah tampak sebelumnya. Sebagai pemilik kursi yang cukup banyak dan juga ketua partai, Demul tidak bersedia menjadi cagub RK. Dia juga mengisyaratkan secara chemestry`tidak nyambung dengan RK.
Sebaliknya RK juga sudah mematok harga tinggi. Menurut dia karakternya tidak cocok menjadi wakil. Dengan mengutip sejumlah survei, RK menyatakan bila figur seperti Deddy Mizwar (Demiz) dan da`i kondang Aa Gym bersedia menjadi wakilnya, maka dia bisa memenangkan pilkada dengan perolehan suara di atas 60%. Apa gak dahsyat tuh?
Sikap RK yang jumawa inilah tampaknya yang menjadi penyebab mengapa figurnya banyak ditolak partai-partai. Ketua DPP PDIP Andreas H Pareira akhirnya buka kartu.
Mereka menolak RK karena terkesan RK hanya butuh rekomendasi ketika mau maju Pilkada. Setelah itu dia akan mengklaim dirinya sebagai figur independen.
Penilaian Andreas tidak terlalu salah bila berkaca pada saat RK maju dalam Pilwako Bandung 2013. Dia diusung oleh PKS dan Gerindra. Setelah terpilih sebagai walikota, RK seolah ingin menghapus jejak partai pendukungnya. Dia selalu menampilkan diri sebagai figur independen.
Nah jurus lama RK itu agaknya ingin diulang pada Pilgub 2018. Namun partai pengusung rupanya sudah belajar dan memahami jurus akrobat RK. Meminjam judul sebuah lagu populer “Ooooo kamu ketahuan…..”
Golkar dan PDIP bergerak cepat. Salah satu kandidat yang digadang-gadang menjadi kandidat PDIP, Puti Guntur Soekarno Putra segera merapat ke Demul. Sebagai anggota DPR RI dari Dapil Jabar, keponakan Megawati ini mengaku punya banyak kesamaan dengan Demul. Ucapan Puti adalah sebuah signal politik keduanya akan bergabung. Puti menyalip di tikungan.
RK ibarat lelaki, dia tampan, populer dan banyak digemari wanita. Sayang ketika ingin menikah lagi, banyak yang menghindar karena tau dia selalu mengaku sebagai pria lajang, padahal terikat sebuah perkawinan. Kesetiaannya diragukan.
Banyak jalan menuju Gedung Sate
Menanggapi penolakan PDIP dan Golkar, RK tidak putus asa. Menurutnya ketika Pilwako Kota Bandung, dia juga ditolak oleh partai-partai, tapi kemudian PKS dan Gerindra mengusungnya. Dia terpilih jadi walikota.
Sebagai politisi rupanya RK menganut falsafah “Tak ada kata menyerah, sebelum janur kuning melengkung.” Apakah itu isyarat dia ingin balik kucing ke PKS-Gerindra? Sesuatu yang tampaknya meminjam istilah Asmuni pelawak Srimulat “Merupakan hil yang mustahal.”
PKS dan Gerindra untuk sementara–karena baru 99%– telah menetapkan Demiz-Syaichu sebagai pasangan cagub-cawagub. RK mungkin masih berharap ada keajaiban seperti di Pilkada DKI ketika PKS-Gerindra mengganti cagubnya dari Sandiaga ke Anies Baswedan.
Namanya juga berharap, ya boleh-boleh saja. Tapi kalau toh karena dinamika politik PKS-Gerindra harus mengganti jagoannya, rasanya terlalu konyol bila pilihannya jatuh ke RK. Mereka pasti bukan sekelompok “keledai” yang sengaja menjebloskan diri ke lubang yang sama.
Kalau begitu jalan mana yang akan ditempuh oleh RK agar bisa lolos lubang jarum. Di luar PDIP, Golkar, PKS dan Gerindra, masih ada lima partai lainnya. Demokrat (12 kursi), PPP (9), PKB (7), PAN (4) dan Hanura (3).
RK bisa mendekati PPP, PKB dan Hanura. Bila ditambah kursi Nasdem (5) total menjadi 24 kursi. Selamat lah RK. Hanya saja kalkulasi politiknya jadi rumit. Siapa yang akan menjadi wakil. PPP atau PKB?
Bila salah satu tidak mau mengalah, atau memilih kubu lain, maka jumlah kursi tidak akan mencukupi.
RK bisa dengan leluasa mengakuisisi partai pendukung bila memiliki dana besar, atau ada cukong besar yang turun tangan. Partai yang tidak mendapat jatah cawagub mendapat kompensasi “uang perahu” yang signifikan.
Sudah bukan rahasia untuk maju di pilkada butuh dana besar dan tentu saja cukong besar yang bersedia menjadi investor politik.
Sebagai gambaran saja jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di Jabar sekitar 75 ribu. Untuk biaya saksi dan pengamanan suara butuh setudaknya dana sebesar Rp 15-25 miliar. Belum biaya-biaya lainnya yang jumlahnya jauh lebih besar. Kalau mau paket hemat (Pahe) setidaknya perlu dana Rp 150-200 miliar.
Peluang lain yang terbuka bagi RK adalah menggandeng Demokrat dan PAN. Masalahnya apakah Demokrat mau?
Dalam pilpres dan pilkada, Demokrat cenderung membentuk poros sendiri. Apalagi kader Demokrat Dede Yusuf dan kader PAN Desi Ratnasari termasuk nama yang beredar akan ikut maju dalam persaingan. Apakah mereka mau melepas tiketnya ke RK? Apa kompensasinya?
Dari berbagai kalkulasi politik tadi, seolah tak ada jalan keluar bagi RK. Dia harus mengeluarkan jurus saktinya untuk berakrobat mendapatkan tiket. Harapan lain adalah pasrah pada jalan nasib. Sebagai muslim setidaknya dia pasti percaya pada qodho dan qodar. Kepastian akan nasib baik dan buruk.
Nasib baik RK akan datang kembali bila PDIP ternyata memainkan kartu lama di Pilkada DKI. PDIP sejak awal menentang Ahok, namun akhirnya mendukung dan memasang Djarot sebagai cawagub.
Partai lain yang lebih awal mendukung Ahok tidak mendapat apa-apa. Kalau toh mendapat sesuatu, tidak sebesar PDIP.
Seperti seorang gambler yang piawai, PDIP menahan kartu lebih lama dan melakukan call tinggi. PDIP akhirnya baru buka kartu bila dealnya cocok.
Dalam situasi seperti ini saran terbaik bagi RK, terus berusaha sekeras mungkin, tapi jangan lupa berdoa. Masih banyak (Insya Allah) jalan ke Gedung Sate tempat Gubernur Jabar berkantor. End
TAGS : Opini Hersubeno Arief Ridwan Kamil Jawa Barat
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/19919/Pilkada-Jabar-2018-Politik-Kuldesak-Ridwan-Kamil/