Setop kekerasan seksual pada anak (foto: Google)
Jakarta, Jurnas.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise dikejutkan kasus pencabulan dan sodomi oleh oknum pimpinan Lembaga Pendidikan Agama berinisial DS kepada beberapa santri.
Kejadian tersebut diketahui telah berlangsung sejak Tahun 2018 dan berdampak pada kondisi psikologis para korban. Bahkan ada santri yang mengaku rutin setiap seminggu sekali mendapatkan pelecehan seksual dari pelaku.
Hasil asesmen dari tim P2TP2A Kabupaten Langkat menyebutkan beberapa santri mengalami trauma berat hingga tertular penyakit kelamin akibat perlakuan tersebut.
Menanggapi hal ini, Menteri Yohana pada 10 Mei 2019 lalu telah menurunkan tim untuk meninjau langsung proses pendampingan dan penyelesaian kasus yang dilakukan Pemerintah Daerah setempat.
“Saya sungguh menyayangkan kejadian yang menimpa para santri. Para orangtua menitipkan anaknya di pesantren untuk mendapatkan pendidikan moral dan agama yang baik, untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, malah disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Kita harus mengawal kasus ini hingga tuntas. Terutama dalam hal pemulihan psikologis anak-anak kita,” ujar Yohana.
Kasus yang terjadi di Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara ini terungkap berawal dari ketakutan dan kekesalan para santri akibat perilaku pelecehan seksual tersebut.
Para santri mengungkapkan bahwa mereka sudah pernah mencoba menceritakan kasus ini kepada pengurus pesantren yang lain, namun tidak diindahkan karena tidak ada bukti kuat. Terlebih lagi pelaku merupakan pimpinan pesantren.
Akhirnya, tanggal 13 Maret 2019 malam, sekitar 30 orang memutuskan untuk menceritakan kejadian yang mereka alami kepada salah satu warga sekitar pesantren. Warga merespon cepat kejadian ini dengan membawa para santri ke Balai Desa Padang Tualang untuk selanjutnya Kepala Desa dengan sigap melaporkan kejadian ini ke Polres Langkat.
“Penyelesaian kasus ini menjadi tanggung jawab semua pihak. Kita harus benar-benar memastikan kondisi anak korban dan penanganannya. Terlebih ini sudah berlangsung cukup lama. Penanganan psikologis yang tidak tuntas dikhawatirkan akan berdampak pada potensi anak korban menjadi pelaku di kemudian hari,” ujar Valentina Ginting, Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, usai melakukan peninjauan langsung ke lokasi kejadian perkara.
Valentina menjelaskan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Keman PPPA) telah melakukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Langkat, Dinas Pendidikan, Kementerian Agama beserta pihak Kepolisian yang menangani langsung kasus ini. Valentina juga memastikan para santri yang menjadi korban telah mendapatkan penanganan psikologis dari P2TP2A Kabupaten serta pendampingan dari pihak pesantren.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Ketua P2TP2A Kabupaten Langkat, 8 orang santri yang menjadi korban teridentifikasi mengalami trauma berat dan membutuhkan penanganan yang cukup serius.
“Kami telah melakukan asesmen dan konseling terhadap 17 anak korban. Dari 17 anak, 8 orang anak teridentifikasi mengalami trauma berat, 5 orang mengalami trauma dan sisanya tidak teridentifikasi mengalami trauma. Hal ini tentunya menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan, karena untuk proses penyembuhannya membutuhkan waktu berubulan-bulan. Ditambah lagi, ada anak korban yang sudah tertular penyakit kelamin,” ujar Ernis selaku Ketua P2TP2A yang menangani langsung asesmen dan konseling anak korban.
Pihak DP3A Kabupaten Langkat dan P2TP2A juga menuturkan bahwa mereka terkendala dalam melakukan monitoring dan menghadirkan anak-anak dalam proses pembuatan BAP di Kepolisian. Hal ini disebabkan lokasi tempat tinggal anak korban tersebar di beberapa wilayah yang jaraknya cukup jauh dari Kabupaten Langkat. Belum lagi harus mengadapi kemungkinan penolakan dari orangtua korban.
Para orangtua masih menganggap bahwa semakin jauh anak mereka terlibat dalam kasus ini maka nama baik keluarga akan semakin rusak. Ditambah lagi minimnya pengetahuan orangtua atas dampak yang mungkin ditimbulkan akibat menjadi korban pelecehan seksual.
Orangtua masih menganggap bahwa anak laki-laki tidak akan merasakan dampak yang signifikan dalam tumbuh kembangnya ketika menjadi korban pelecehan seksual dibanding anak perempuan. Hal ini tentunya menjadi tugas berat bagi DP3A dan P2TP2A untuk meyakinkan orangtua korban bahwa kehadiran korban menjadi saksi di kepolisian sangat penting untuk mendorong penyelesaian kasus ini.
Pihaknya sangat mengapresiasi berbagai upaya penyelesaian dan pendampingan yang telah dilakukan oleh pihak Kepolisian, Dinas PPPA, P2TP2A dan Pemerintah Daerah setempat. Kami harap kasus ini harus terus dikawal dan semua orang harus terlibat dalam upaya pemulihan kondisi psikologis anak korban. Kita juga memiliki PR besar untuk mencegah anak-anak ini mendapatkan stigma dari masyarakat yang mungkin akan memperburuk kondisi psikologis mereka. Orangtua korban juga harus mulai diedukasi terkait dampak yang mungkin ditimbulkan di masa depan pada anak-anak mereka jika proses pemulihan atau trauma healing tidak dilakukan secara tuntas. Kemen PPPA akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas,” ujar Valentina.
Valentina menuturkan bahwa Kemen PPPA menjamin perlindungan anak dan mendorong berbagai pihak, mulai dari DP3A Kabupaten, Dp3A Provinsi, Kepolisian hingga Kejaksaan untuk menyelesaikan kasus ini dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
TAGS : Kasus Pencabulan Sumatra Utara
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/52614/Pimpinan-Ponpes-di-Langkat-Cabuli-Belasan-Santri/