sebuah diskusi bertajuk
Jakarta, Jurnas.com – Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) M Ikhsan Abdullah menilai bahwa sertifikasi halal sebaiknya tidak dikeluarkan oleh negara, yang dalam hal ini dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) karena nantinya akan menjadi polemik, bukan hanya untuk negara tetapi juga dunia usaha.
“Selama ini kan sertifikasi halal dikeluarkan oleh NGO, dan itu sudah diatur dalam UU, nah kalau negara yang mengeluarkan maka itu akan menjadi sertifikat negara. Tentu nanti ini akan menjadi polemik di dunia usaha baik dalam maupun luar negeri,” kata Ikhsan Abdullah dalam sebuah diskusi bertajuk “Sertifikasi Halal dan Kesiapan BPJPH”, Sabtu (08/08).
Diketahui Pemerintah akan mengimplementasikan UU nomor 33 yang menyebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut UU ini, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.
Menurut Ikhsan, kedudukan BPJPH sebagai suatu institusi pemerintahan yang berada di bawah Kementerian Agama maka hal ini dapat menjadi pemicu negara internasional untuk mengajukan isu tersebut menjadi sengketa perdagangan internasional dalam bentuk gugatan kepada WTO atas tindakan yang dianggap melanggar ketentuan perdagangan bebas yang selama ini telah diterapkan pada hampir seluruh negara di dunia.
“Untuk menghindari adanya gugatan dan sengketa lebih banyak lagi terhadap Indonesia maka sebaiknya campur tangan pemerintah dalam melaksanakan sertifikasi halal harus dibatasi,” ujar Ikhsan.
Selain tuntutan dari pihak luar, kata Ikhsan, jika negara tetap ngotot sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikasi halal, maka pelaku usaha di dalam negeri juga akan melakukan pengaduan karena hal itu akan merugikan mereka.
“Sistem jaminan halal yang sudah melekat di masyarkat tidak boleh diganti karena itu akan merugikan pelaku usaha. Disamping negara harus membayar konsultan lagi untuk membahasnya, dunia usaha juga harus belajar lagi dan harus menyewa konsultan lagi jika sistem itu diganti. Tentu itu akan butuh waktu yang lama,” lanjutnya.
Untuk itu, menurutnya, sebagai suatu lembaga yang membantu pemerintah dalam penyelenggaraan Sistem Jaminan Produk Halal (JPH), maka sebaiknya sertifikasi halal di dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Dengan keberadaan BPJPH yang sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tugas, fungsi, kewenangan yang jelas, maka sebaiknya penyelenggaraan jaminan produk halal dilaksanakan MUI,” ujarnya.
Meski menuai polemik, Ikhsan tetap mengapresiasi adanya UU terkait produk halal. Pasalnya, menurut Ikhsan bahwa Indonesia satu-satunya negara yang memiliki UU yang mengatur produk halal.
“Menurut saya UU sudah cukup bagus, kita patut bangga karena kita satu-satunya yang punya UU tentang produk Halal. Namun, kita kan ingin sertifikasi halal ini sebagai pendorong industri halal di Indonesia, sehingga prosedurnya harus bisa diatur sebaik mungkin,” tandasnya.
Sementara itu, Muhamad Nadratuzzanan Hosen selaku Wakil Ketua Dewan Halal Nasional MUI menyoroti terkait kewajiban untuk melakukan sertifikasi halal yang dikeluarkan BPJPH terhadap produk yang masuk maupun keluar dari Indonesia.
Menurut Hosen, aturan ini lebih memihak kepada pengusaha kelas menengah ke atas, yang sudah sangat akrab dengan teknologi. Sementara pengusaha-pengusaha kecil akan menjadi masalah untuk mereka.
“Yang perlu kita soroti dalam aturan ini adalah bagaimana menyiapkan masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan aturan yang akan diterapkan secara wajib tersebut. Tentu banyak pedagang kecil seperti penjual Putu akan takut berdagang karena harus melakukan sertifikasi halal terlebih dahulu,” katanya.
Ia menilai bahwa adanya aturan ini memang cukup baik untuk mendorong para pelaku usaha untuk menghasilkan produk-produk halal. Namun, prosedur yang dibuat haruslah mampu menyentuh dari segala lini baik dari pengusaha kecil hingga pengusaha elit.
“Namun nyatanya BPJPH belum melakukan sosialisasi untuk penyiapan masyarakat untuk menerima sertifikasi ini belum dilakukan,” ujarnya.
Ia berharap BPJPH dapat bersinergi dengan MUI terkait sertifikasi halal, sehingga tidak menjadi polemik di masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam.
“Harusnya dibagi penugasan yang jelas antara BPJPH dan MUI, karena kalau tidak selesai kasian umat. Padahal kan sertifikasi ini bertujuan untuk kemaslahatan umat,” harapnya.
Senada dengan Hosen, Ledia Hanifa Amalah selaku Sekretaris Fraksi PKS DPR RI menyatakan bahwa seluruh stakeholder, khususnya Kemenag fokus mengedukasi masyarakat terkait produk halal, sehingga bisa menjadi lifestyle.
“Sosialisasi menjadi hal dasar yang dilakukan Kemenag. Edukasi ke masyarakat bahwa halal bukan hanya label tapi juga harusnya menjadi lifestyle,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga melalui aturan ini harusnya mampu mendorong para kalangan pengusaha untuk terus menyediakan produk-produk halal kepada para konsumen.
“Aturan ini di sisi lain sangat positif karena akan mendorong pengusaha-pengusaha Indonesia untuk menyediakan produk halal,” ujarnya.
Terkait polemik yang saat ini terjadi, Ledia menilai bahwa hal ini akan mampu diselesaikan di dalam Internal pemerintah sendiri.
“Pemerintah cukup mendudukkan semua kementerian terkait seperti Kemenag, Kementerian perdagangan, kementerian industri, dan semua kementerian terkait. Saya pikir ini akan segera selesai,” tandasnya.
TAGS : Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia IHW
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/76678/Polemik-Sertifikasi-Halal-IHW-Biarkan-Tetap-Jadi-Wewenang-MUI/