Priyo Anggoro
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda.
Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
2. Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substansial adalah “Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat dituntut di muka hakim”.
Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Jauh sebelum itu, ada juga tokoh Belanda yang bernama Eduard Douwes Dekker, pada tahun 1860 menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran `Multatuli`.
Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “`Aku sudah menderita cukup banyak`” atau “`Aku sudah banyak menderita`”; di sini, “aku” dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah.
Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker diberlebih-lebihkan.
Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda hingga melahirkan tokoh pergerakan yang kemudia puncaknya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sejak tahun 1901 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.
Setelah 118 tahun pasca politik etis Belanda yang memberi Pendidikan sebagai salah satu balas budi gratis kepada rakyat pribumi dan setelah 74 tahun Indonesia merdeka, ternyata bangsa ini masih terjajah dalam permodelan komodifikasi Pendidikan.
Pendidikan menjadi salah satu komoditas yang diperjualbelikan dan masih sangat mahal dijangkau. Terutama Pendidikan menengah dan Pendidikan tinggi.
Hingga saat ini pemerintah masih dalam tahapan program wajib belajar 9 tahun, yaitu SD sampai dengan SMP saja. Padahal kita tahu Bersama lulusan SMA pun banyak yang menganggur dan kurang berdaya.
Belum lagi fenomena mahalnya masuk perguruan tinggi (S1), bagaimana rakyat Indonesia mampu mengejar Pendidikan hingga S2 atau S3, bila secara pemikiran sebenarnya mereka mampu tapi dihadapkan pada kondisi ketidakmampuan negara menjamin Pendidikan mereka sampai S3.
Sesuatu yang berat memang merealisasikan wajib belajar 21 tahun SD hingga S3. Tapi bila pemerintah dengan nahkoda Presiden terpilih yaitu Bapak Presiden Joko Widodo yang akan memfokuskan pembangunan SDM pada periode keduanya.
Juga sejumlah anggota Legislatif terlantik dari pusat hingga daerah memiliki visi yang kuat, bukan suatu hal yang tidak mungkin diwujudkan. Wajib belajar 21 tahun SD hingga S3.
Merelokasi warga yang hidup dengan kekumuhan di bantaran sungai, di pinggir-pinggir rel kereta, di kolong-kolong jembatan, warga miskin di desa adalah dengan memberi Pendidikan pada anak-anak mereka hingga S3.
Setelah lulus diharapkan tidak ada lagi upaya meneruskan orang tua di tempat-tempat itu. Karena Pendidikan adalah investasi terbesar bagi kemajuan suatu bangsa.
Mungkin kemerdekaan kita bisa saja tertunda bila tak ada tokoh pergerakan seperti bung Karno dan bung Hatta yang memiliki akses Pendidikan pada waktu itu.
Wajib belajar 9 tahun berarti menegaskan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari penjajahan dalam sektor Pendidikan.
Bila hanya mempertahankan wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun sekalipun, yang akan dihasilkan dari bangsa ini adalah generasi kuli, bukan generasi pemikir.
Bagaimana Indonesia akan bersaing dengan Malaysia atau Singapura sekalipun, tidak usah lah dengan Tiongkok atau bangsa Eropa.
Oleh : Priyo Anggoro
(Dosen UNUGHA & Ketua DPD Pospera Jawa Tengah)
TAGS : Politik Etis Kemerdekaan Pendidikan yang Terjajah
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/57557/Politik-Etis-Kemerdekaan-dan-Pendidikan-yang-Terjajah/