NILAI intrinsik puasa sejatinya bukan sekadar perkara mengatur metabolisme perut. Yakni, santap sahur sebelum terbit fajar dan berbuka ketika fajar terbenam. Jauh dari itu, puasa merupakan interupsi atas jiwa keserakahan yang lekat dengan naluri kebinatangan.
Keserakahan acap disimbolkan dengan perut. E.Y. Sarna (2010) memberikan alasan bahwa angkara perut adalah gerbang datangnya malapetaka dan kehancuran negara. Telah banyak cermin keruntuhan peradaban-peradaban besar di dunia karena tak mampu mengendalikan buasnya kuasa perut. Sebut saja Romawi Kuno yang jatuh dari puncak kejayaannya karena pejabatnya menyisakan sistem yang korup. Dari perut, hasrat kemaruk kukuh bertakhta. Berawal dari perut pula, para pesohor dunia terperangkap dalam jerat-jerat korupsi kekuasaan.
Angkara keserakahan sejatinya tidak bisa dilepaskan dari konsep dasar naluri besar manusia. Konrad Lorenz dalam bukunya, Das Sogenante Bose (1969), menyatakan bahwa manusia memiliki empat (the big four) naluri besar. Jika penyaluran naluri tersebut tersumbat, akan menjelma menjadi malapetaka besar bagi masyarakat dan peradaban. Empat naluri itu adalah naluri lapar, seks, agresi, dan rasa takut.
Colin Stuart dan Mun Keat Looi dalam karyanya The Geek Guide to Life menyebut bahwa orang yang lapar cenderung lebih agresif dan emosinya menjadi kacau. Berbagai macam cara dilakukan dan tak lagi mengindahkan tata nilai dan keadaban moral. Namun, dalam konteks kekuasaan, naluri lapar hari-hari ini sudah bergeser dari makna aslinya. Naluri lapar bukan lagi dalam konotasi lapar perut, melainkan dalam arti lapar kekuasaan, serakah jabatan, dan rakus kekayaan. Di tingkat elite, misalnya, angkara keserakahan ditunjukkan dengan perilaku saling sikut dan minus keadaban politik.
Harold D. Laswell dalam bukunya, Who Gets What, When, How, menyatakan bahwa politik tunamalu bukan lagi berbicara bagaimana mengusung isu kesejahteraan rakyat sebagai platform perjuangan, tapi soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Tesis tersebut semakin sahih ketika tampuk kekuasaan diperoleh dengan cara-cara yang culas seperti politik uang sehingga saat berkuasa hasrat mengembalikan modal politik melalui korupsi sangat kuat.
Telah banyak cermin pemimpin-pemimpin dunia yang masuk dalam kubangan korupsi karena lebih memuja peradaban perut ketimbang politik kesejahteraan. Sebut saja Park Geun-hye, bekas presiden Korea Selatan yang divonis 24 tahun karena korupsi. Atau mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva yang divonis 9,5 tahun penjara karena rasuah. Tak ada yang bisa memuaskan buasnya nafsu perut tersebut, kecuali hanya menutupnya dengan tanah (kematian).
Celakanya, gelombang peradaban perut juga menjangkiti mental pejabat kita. Korupsi di lingkaran kekuasaan hingga kini masih menggurita. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat sejak tahun 2004 hingga Mei 2020 sebanyak 397 pejabat politik terjerat kasus korupsi. Indeks persepsi korupsi pada tahun 2020 juga terjun bebas sebesar 3,68, menurun 0,12 poin dibandingkan indeks persepsi tahun 2019 (3,80).
Meski praktik lancung itu dikutuk banyak orang, hasrat rakus memperkaya diri dengan melawan hukum tak pernah tamat. Mirisnya, bagi para pesohor pemuja peradaban perut, di panggung depan yang penuh pencahayaan dan citra dengan lantang bicara antikorupsi. Tapi, di belakang panggung yang gulita dia ganti topeng dengan perangai angkaranya mengeruk uang negara untuk memenuhi kuasa perut. Melukiskan panggung elite tersebut, meminjam teori dramaturgi Erving Goffman, tak ubahnya gelanggang pertunjukan pantomim. Lengkap dengan setting panggung, gerak tubuh, mimik, dan jiwa teaterisnya. Benar kata Machiavelli, penguasa macam ini serupa karakter bunglon: sukar membedakan antara wajahnya yang asli dan pohon yang dipalsukannya.
Ketika peradaban perut telah menjadi jalan hidup bagi pejabat kita dan interupsi elemen civil society hanya merambat di ruang yang hampa, bukan tidak mungkin mimpi buruk negara distopia seperti halnya Romawi Kuno juga terjadi pada negara kita. Maka, agar tidak menimbulkan malapetaka besar, naluri kuasa yang destruktif tersebut harus segera disalurkan pada jalan yang benar. Perut sebagai sumber angkara keserakahan harus dikendalikan melalui ritualisasi.
Puasa sebagai Penawar
Ibadah puasa Ramadan melatih kita mengendalikan syahwat perut dari berbagai angkara yang membahayakan. Imam al-Ghazali RA dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa perut adalah sumber segala syahwat dan tempat tumbuhnya segala penyakit dan bencana. Karena itu, ibadah puasa merupakan ritualisasi dan jalan kenabian agar manusia berakhlak mulia, mampu membakar hasrat memuja kekuasaan dan naluri cinta kebendaan.
Laparnya orang yang sungguh-sungguh berpuasa secara lahir dan batin tak sekadar persoalan menahan perut keroncongan sehari penuh dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Lebih dari itu, juga melatih diri menahan godaan lapar harta, dahaga kekuasaan, dan naluri rakus berwujud korupsi. Dengan kata lain, puasa memiliki efek determinan membunuh naluri destruktif dan hasrat memuja peradaban perut.
Orang yang berpuasa atas dasar imanan dan ihtisaban (penuh keimanan dan mengharapkan rida dari Allah) akan memiliki kualitas penguasaan diri jauh lebih baik dibandingkan orang lain. Meski dalam kondisi lapar (miskin), tidak menjadi alasan menggadaikan harkatnya dengan berbuat korupsi. Dia memilih mati kelaparan dengan berpegang pada prinsip kebajikan daripada bergelimang kekayaan, namun menistakan martabat diri.
Berbeda halnya dengan puasanya para koruptor. Meski fisiknya puasa menahan lapar dan dahaga, masih saja melakukan kejahatan korupsi. Kualitas puasa yang demikian meski telah menjadi ritual tahunan tidak akan pernah memiliki faedah apa pun bagi pengendalian angkara keserakahan yang bersumber dari perutnya. (*)
*) ACHMAD FAUZI, Wakil ketua Pengadilan Agama Penajam; mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Balikpapan
Credit: Source link