Oleh: Dahlan Iskan
indopos.co.id – Terbukti kebijakan khusus Bu Mega –Megawati Sukarno Putri, ketua umum PDI-Perjuangan– ampuh. Semua calon yang lewat kebijakan khususnya berhasil terpilih.
Di Solo, Jawa Tengah, Anda sudah tahu, Gibran Rakabuming Raka menang mutlak –semutlak-mutlaknya. Riak-riak di PDI-Perjuangan Solo tidak mengganggu sama sekali.
Di Surabaya, Jawa Timur calon yang dipilih Bu Risma juga menang. Demikian juga di Banyuwangi, Jawa Timur: calon yang diajukan Bupati Abdullah Azwar Anas juga menang mutlak.
Bu Mega kali ini memang punya kebijakan khusus. Itu terkait dengan prestasi besar dua kepala daerah: Wali Kota Risma di Surabaya dan Bupati Anas di Banyuwangi.
Bu Mega sangat bangga pada dua orang itu. Sebagai kepala daerah yang bisa membawa nama harum PDI-Perjuangan. Nama dua orang itu begitu sering disebut Bu Mega di depan publik.
Maka sebagai penghargaan khusus kepada keduanya, Bu Mega memberikan hak istimewa. Masing-masing boleh mengajukan kepada Bu Mega siapa calon pengganti mereka. Maka Risma ngotot mencalonkan Eri Cahyadi. Anak buahnya di kantor wali kota. Birokrat. Anas mencalonkan istrinya. Yang memang meraih hasil survei tertinggi di Banyuwangi.
Dua orang itu pun all out memenangkan calon masing-masing. Dengan segala cara. Berhasil.
Yang menarik, dua orang itu sebenarnya bukan kader murni PDI-Perjuangan. Risma adalah birokrat. Anas, bahkan, aktivis Nahdlatul Ulama.
Itu sebenarnya juga bisa dilihat sebagai keterbukaan sikap PDI-Perjuangan pada potensi di luar partai. Itu, dari sudut pembangunan bangsa tentu pertanda yang amat baik: mengakomodasikan SDM berkualitas dari mana pun datangnya.
Di Surabaya, Bu Mega sampai mengabaikan calon kuat dari internal partai. Yang itu sangat mengecewakan sebagian massa mereka.
Orang-orang itu sangat marah kepada Risma: mengapa tidak mau merekomendasikan kader PDI-Perjuangan sebagai calon wali kota.
Menjelang Pilkada mereka itu tampil sangar, menyanyikan yel-yel “Hancurkan Risma, Hancurkan Risma”. Dengan sangat emosional.
Video ”Hancurkan Risma” itu beredar sangat luas dalam waktu cepat. Rakyat Surabaya justru jatuh simpati pada Risma. Muncullah gerakan ”Bela Bu Risma” atau ”Kasihan Bu Risma”.
Calon satunya, yang rating-nya selalu di atas, langsung kehilangan angin. Machfud Arifin kalah telak.
Selalu ada takdir. Eri Cahyadi yang awal rating-nya sulit naik langsung menyalip di tikungan. Di lap terakhir pula.
Model penghargaan khusus dari Bu Mega untuk kepala daerah yang berprestasi itu terbukti ampuh.
Maka di Surabaya dan Banyuwangi, Bu Mega berhasil membuat calon baru pun bisa serasa incumbent. (*)
Credit: Source link