JawaPos.com – Regulasi izin tinggal bagi turis digital nomad belum diatur secara eksplisit dalam UU Keimigrasian. Akibatnya, keberadaan mereka di Bali, khususnya di daerah-daerah spot bule seperti di Canggu, menjadi bias. Padahal, orang asing yang menjadi pengembara digital itu mempunyai karakteristik berbeda dengan wisatawan asing pada umumnya.
Belum adanya kepastian hukum bagi pengembara digital asing tersebut menggugah Wahyu Taufiq dan kawan-kawan untuk membuat petisi dalam jaringan (daring) berjudul Indonesian Government: Create a Remote Worker Visa to Boost Digital & Creative Economy. Petisi itu sudah ditandatangani 3.306 orang pada Jumat (5/2).
Dalam petisi tersebut, Wahyu mengungkapkan bahwa pekerja jarak jauh (remote workers) dan pengembara digital (digital nomad) merupakan demografi yang berkembang saat ini. Bahkan, mereka menjadi populasi baru yang terus meningkat secara global. ”Lebih dari 4,8 juta orang Amerika menyatakan diri sebagai digital nomad,” kata Wahyu.
Data yang diungkap Wahyu merujuk pada hasil riset MBO Partners State of Independence pada 2018. Lembaga asal Amerika itu berfokus terhadap isu ketenagakerjaan.
Wahyu menuturkan, sudah saatnya Indonesia membuat regulasi visa digital nomad. Dia mencontohkan negara Estonia yang mulai memberlakukan visa digital nomad pada 1 Agustus tahun lalu. Visa itu melegalkan pengembara digital untuk tinggal di Estonia selama setahun. ”Sekarang ini dunia going to digital dan selama pandemi itu makin masif,” jelas pria kelahiran Bali tersebut.
Baca juga: Kampung Turis Canggu dan Potret Kerja Digital Nomad
Bersama kawan-kawannya, Wahyu sempat membuat kajian tentang penerapan visa digital nomad. Dalam kajian yang diperoleh dari penelitian kualitatif tersebut diketahui, 150 orang asing di Indonesia yang melabeli dirinya sebagai digital nomad adalah pemilik usaha online. Di antaranya, digital marketing, cybersecurity, dan data sciences. ”Ada juga yang mengaku sebagai pekerja remote,” ungkap pria 28 tahun tersebut.
Wahyu menyatakan, belum adanya regulasi visa digital nomad merupakan kerugian bagi negara. Sebab, penghasilan para bule yang diperoleh dari bisnis online jarak jauh belum bisa ditarik pajak. ”Padahal, 64 persen responden (digital nomad asing) dengan senang hati membayar pajak kalau ada imbalan visa (digital nomad),” terangnya.
Dia menjelaskan, visa pekerja remote dan digital nomad bisa menjadi sumber pemasukan bagi negara jika pemerintah menerapkan skema pajak bagi orang asing yang mengajukan visa digital nomad. ”Ngurus visa kerja itu tidak gampang dan mahal. Makanya, kita perlu regulasi baru (untuk izin tinggal digital nomaden),” tutur founder Yayasan Digital Nomad Indonesia tersebut.
Baca juga: Workcation Boleh, asal…
Dia berharap pemerintah mau merancang regulasi baru agar ada kepastian hukum bagi digital nomad. ”Untuk sektor pajak, ini (visa digital nomad) berpotensi besar. Apalagi, GDP (gross domestic product) Indonesia itu paling besar dari tourism,” jelasnya.
Penasihat Yayasan Digital Nomad Indonesia Ichi Yamada menegaskan, regulasi digital nomad tidak berarti harus mendewakan orang asing. Menurut dia, akses warga lokal untuk mendapatkan pengetahuan tambahan tentang bisnis digital juga terbuka lebar jika ada regulasi yang jelas terkait dengan pengembara digital. ”Kita perlu regulasi yang bisa menciptakan win-win solution,” tuturnya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Credit: Source link