JawaPos.com – Konsumen minyak sawit mengingatkan Pemerintah dan Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) untuk menghentikan pembahasan mengenai ketentuan stimulus perekonomian yang terkandung dalam RUU Cipta Kerja.
Direktur Kampanye Senior Mighty Earth, Phelim Kine mengatakan, kebijakan ini berpotensi memperburuk situasi deforestasi di Indonesia dan menghapus serangkaian keberhasilan yang telah diraih dalam upaya pencegahan hilangnya kawasan hutan (deforestasi) yang sebagian besar didorong oleh diterapkannya praktik produksi minyak sawit yang lebih bertanggung jawab.
“RUU ini menimbulkan ancaman besar bagi hutan Indonesia dan berisiko menyebabkan kerugian ekonomi yang tak terhingga bagi industri minyak sawit setempat – sebuah industri yang keberhasilannya bergantung pada pemenuhan ekspektasi produksi untuk pasar internasional,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (18/9).
Beragam kemajuan yang telah dicapai oleh industri kelapa sawit dalam mengurangi tingkat deforestasi dan perusakan lahan gambut di Indonesia – tak lain berkat tekanan dan keterlibatan dari pembeli, pemodal, kelompok masyarakat sipil, masyarakat adat dan komunitas yang berjuang di garis depan – menjadi titik terang dalam upaya mengatasi tren deforestasi global yang kini tengah berlangsung.
Setidaknya 83 persen kilang minyak sawit di Indonesia dan Malaysia telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasi kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi (NDPE). Ini merupakan peningkatan yang sangat baik, mengingat pada bulan November 2017 lalu, baru 74 persen kilang di kedua negara tersebut yang mengemukakan komitmen mereka.
Meskipun belum dijalani sepenuhnya, komitmen ini telah menyebabkan penurunan laju deforestasi terkait minyak sawit di Indonesia dari satu juta hektar per tahun menjadi kurang dari 250.000 hektar dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Berdasarkan kajian organisasi pemantau hutan nonpemerintah Global Forest Watch, angka deforestasi di Indonesia telah menyusut ke tingkat terendah sejak tahun 2003.
“Akan tetapi, semua pencapaian tersebut akan sia-sia jika DPR RI menyetujui RUU Omnibus sebelum berakhirnya masa jabatan legislatif periode ini yang jatuh pada tanggal 9 Oktober 2020,” ucapnya.
Sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja tersebut meliputi, dilonggarkannya persyaratan untuk melakukan peninjauan dampak lingkungan dari proyek industri dan agribisnis, diperkuatnya wewenang pemerintah pusat untuk menyetujui bisnis dan investasi di kawasan hutan dan lahan gambut yang telah ditunjuk secara resmi – meskipun saat ini tengah diberlakukan moratorium deforestasi di kawasan-kawasan tersebut.
Kemudian, dihapusnya persyaratan yang mewajibkan setiap provinsi untuk mengalokasikan dan mempertahankan setidaknya 30 persen dari keseluruhan lahan milik provinsi tersebut sebagai tutupan hutan, dan sebaliknya malah mengizinkan masing-masing pemerintah provinsi untuk menetapkan standar mereka sendiri secara proporsional.
Serta, dihilangkannya tanggung jawab dan kewajiban hukum yang berlaku ketat bagi setiap perusahaan yang di areal konsesinya terjadi karhutla (kebakaran lahan dan hutan).
“Regulasi ini berperan sebagai insentif utama bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencegah dan memadamkan kebakaran yang mungkin terjadi serta menahan diri untuk tidak membakar lahan milik mereka sendiri,” tutupnya.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Credit: Source link