JAKARTA, BALIPOST.com – Wabah COVID-19 tidak memandang profesi. Semua orang bisa terjangkit dan menyebabkan kematian bagi penderitanya, termasuk para dokter yang menjadi garda terdepan dalam penanganan virus mematikan ini.
Dikutip dari Kantor Berita Antara, tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengungkapkan bahwa sebanyak 109 orang dokter sejak Maret hingga 10 September 2020, telah dinyatakan meninggal dunia akibat terjangkit COVID-19. Data tersebut dikatakan oleh Ketua Tim Mitigasi PB IDI, dr Adib Khumaidi, SpOT, didapat setelah melakukan survei di berbagai faskes yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Terpaparnya para dokter bisa terjadi saat menjalankan pelayanan baik itu pelayanan yang langsung menangani pasien COVID-19 di ruang-ruang perawatan (isolasi maupun ICU), atau dari tindakan medis yang ternyata belakangan diketahui kalau pasiennya mengalami COVID-19, ataupun pelayanan non medis seperti dari keluarga dan komunitas,” kata Adib melalui pernyataan pers, Jumat (11/9).
Adib menjelaskan bahwa gambaran tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan dokter saat ini memiliki risiko yang sangat tinggi untuk tertular COVID-19. Di samping angka OTG (orang tanpa gejala atau asimptomatik carier) yang tinggi dan kian meningkat.
Lebih lanjut Adib berharap supaya pemerintah dapat lebih bersikap tegas dengan menindak masyarakat yang tidak menerapkan protokol kesehatan. “Diikuti juga para aparat pemerintah juga memberikan contoh dengan melakukan protokol kesehatan dalam aktivitas mereka sehari-hari,” kata Adib.
Selain itu, upaya yang perlu dilakukan menurut Adib adalah proteksi di semua layanan dengan penerapan 3T yang lebih tegas lagi. Upaya itu termasuk peningkatan upaya preventif dengan penerapan protokol kesehatan dengan melibatkan kelompok sosial masyarakat sebagai kontrol menjadi satu prioritas untuk menekan laju penyebaran virus.
“Sedangkan untuk penguatan treatment atau perawatan dilakukan dengan mapping atau pemetaan kemampuan faskes, menata dan meningkatkan kapasitas rawat dengan screening atau penapisan yang ketat terhadap pasien, zonasi di fasilitas kesehatan, serta clustering atau pengkhususan rumah sakit rujukan atau yang menangani COVID,” tegas Adib. (kmb/balipost)
Credit: Source link