Sejarah Wabah Penyakit di Tanah Betawi: Telisik Cacar, Malaria, Kolera dan Leptopspirosis

by

in
Sejarah Wabah Penyakit di Tanah Betawi: Telisik Cacar, Malaria, Kolera dan Leptopspirosis

Diskusi Sejarah Wabah Penyakit di Betawi

Jakarta, Jurnas.com – Wabah virus Corona (Covid-19) terus merajalela dan menimbulkan kekacauan diseluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tak hanya menyebabkan kematian, Virus asal Wuhan China itu juga telah mengganggu perekonomian indonesia. Bahkan rumah-rumah ibadah pun kini tak bisa lagi didatangi untuk sementara waktu.

Data terakhir, Sabtu (18/4/2020) pukul 12.00 WIB. Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto melalui keterangannya menyatakan ada 6.248 orang Positif Covid-19 di seluruh Indonesia.

Sementara data pasien yang sembuh setelah mengidap Covid-19 kini mencapai 631 orang dan Pasien yang meninggal sebanyak 535 orang.

Pada 10 April 2020 para ilmuwan lintas universitas dari SimcovID Team merilis data perkiraan pasien Covid-19 sebagai bagian dari permodelan terkait wabah Covid-19 di Indonesia.

Para ilmuwan tersebut memperkirakan sudah ada 32.000 kasus positif Covid-19 di Jakarta saat ini. Data yang selama ini diketahui diperkirakan hanya 2,3 persen saja dari jumlah yang sebenarnya.

Baca juga.. :

Ternyata, peristiwa wabah penyakit pernah juga terjadi di Jakarta kala masih bernama Batavia.

Arkeolog & Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyyat menceritakan, Pada 1644, penyakit Cacar pertama kali menjangkiti Batavia lalu menyebar ke seantero Jawa.

“Hingga akhir abad ke-18, selain menjangkiti para bayi, cacar juga telah menyebabkan kematian para buruh pekerja perkebunan dan melumpuhkan perekonomian Hindia Belanda,” kata dia dalam sebuah diskusi melalui aplikasi daring yang digelar oleh Perkumpulan Betawi Kita bekerja sama dengan RS Ali Sibroh Malisi JJakarta Selatan, Sabtu (18/04/2020).

Selain cacar, kata Candrian Attahiyyat penyakit Malaria juga pernah mewabah di Batavia sejak 1733 hingga tahun 1900an.

“Merebaknya malaria sebagai wabah penyakit disebabkan karena lingkungan yang belum sehat, banyaknya rawa, nyamuk, dan sanitasi limbah yang buruk. Sehingga malaria jadi ancaman yang mematikan bagi pribumi di Batavia saat itu,” ujar dia.

Selanjutnya, Wabah penyakit yang tidak kalah ganasnya di Batavia bernama bakteri kolera (cholera asiatica).

“Orang awam lebih mengenalnya dengan sebutan “muntaber” (muntah berak). Penyakit yang menyerang usus besar ini ditandai dengan gejala muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Penderita kolera dapat mengalami kematian dalam beberapa jam apabila tidak mendapatkan penanganan medis secara serius,” ujar dia.

Pada 1864, kolera merenggut nyawa sebanyak 240 orang Eropa di Batavia sehingga menyebabkan kepanikan luar biasa di kalangan orang Eropa yang ada di Batavia.

Pasalnya, wabah kolera menyebar lebih cepat dibandingkan penyakit epidemik lainnya semisal malaria, tipus atau disentri. Penyebaran bakteri kolera biasanya menular lewat air minum, makanan dan kontak langsung.

Pada 1910 dan 1911 wabah kolera terjadi lagi di Batavia. Selama tahun-tahun tersebut total warga Batavia, baik kalangan eropa dan pribumi yang meninggal diperkirakan sebanyak 6.000 orang.

“Begitu banyaknya orang meninggal sehingga banyak mayat yang tidak sempat dikubur dan diletakkan begitu saja di dekat jalan raya bersama peti matinya,” ucapnya.

Susan Blackburn dalam buku “Jakarta : Sejarah 400 Tahun” menyebutkan ragam kebiasaan unik warga Batavia untuk menangkal kolera.

Bagi masyarakat etnis Tionghoa, wabah kolera dianggap dapat dicegah dengan menggelar pertunjukan Barongsai yang mengitari pemukiman pecinan.

“Mereka meyakini setan penyebar kolera takut pada barongsai,” katanya.

Sedangkan warga pribumi yang kebanyakan beragama Islam beranggapan dengan meminum air yang diberikan doa-doa khusus oleh kyai atau “orang pintar” dapat menghindari penyakit ini.

Selanjutnya penyakit Leptospirosis pernah juga mewabah di Batavia pada 1911 – 1912. Penyakit ini terjadi akibat kencing tikus yang menular ke manusia.

Walaupun jarang terjadi, tapi virus leptospirosis dapat juga menyebar antar-manusia, terutama pada ibu yang menyusui dan hubungan suami istri. Gejala penyakit ini diantaranya panas tinggi dan demam sehingga banyak menyebabkan kematian bagi penderitanya.

Awal diketahui adanya penyakit leptospirosis ini terjadi di Malang pada 27 Maret 1911. Wabah ini dibawa oleh tikus dari Rangoon, Myanmar ketika impor beras ke Surabaya kemudian merebak ke seantero Jawa dan Sumatera.

Masih kata Candrian Attahiyyat, “dalam rangka menanggulangi wabah penyakit Leptospirosis ini, pemerintah Hindia Belanda langsung membuat Rumah Sakit Karantina di Pulau Onrust & Pulau Kuyper di Kepulauan Seribu, Jakarta dalam tempo sesingkat-singkatnya setelah protokol disahkan.

Pembangunan rumah sakit ini selesai dikerjakan pada akhir tahun 1911 dengan menghabiskan biaya sebesar 607.000 gulden”.

“Orang yang baru pulang perjalanan laut dari luar negeri termasuk orang yang baru pulang dari ibadah Haji diwajibkan diperiksa di Pulau Kuyper sebelum masuk ke pelabuhan Tanjung Priok. Rombongan diperiksa satu persatu setelah disemprot desinfektan, jika dinyatakan negatif langsung dipindah ke Pulau Onrust untuk menjalani karantina selama 5 hari,” katanya.

“Jika positif, maka harus tetap di Pulau Kuyper selama 10 hari untuk menjalani isolasi dan perawatan. Untuk mencegah tikus masuk barak di area rumah sakit karantina maka dibuat pagar anti tikus”, imbuh Candrian Attahiyyat.

Pada tahun 1958 Rumah Sakit Karantina di Pulau Onrust & Pulau Kuyper dipindah ke dalam Pelabuhan Tanjung Priok, kemudian dipindah lagi pada tahun 1994 ke Sunter yang kini bernama Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso.

Pada saat ini, gelombang pasang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terkait dampak ekonomi akibat pandemik Covid-19 mulai dirasakan.

Diberitakan sebelumnya, Hingga Rabu, 8 April 2020, jumlah pekerja dan buruh yang mengalami PHK dan dirumahkan adalah 1,2 juta orang dari 74.430 perusahaan.

Dari jumlah itu, sebanyak 1,01 juta orang merupakan pekerja formal dan sisanya pekerja informal. Angka itu hampir pasti akan terus bertambah, lebih-lebih jika wabah Covid- 19 tidak segera berakhir.

Kalangan LSM dan aktivis meminta Pemerintah Pusat seharusnya merelakan dana proyek-proyek ambisius seperti pemindahan Ibu Kota Negara dipotong atau ditunda pelaksanaannya, sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai penyelamatan warga Negara.

Tanpa program jaringan pengaman sosial yang jelas dan tepat sasaran, jutaan penganggur baru itu bisa memunculkan “hantaman gelombang berikutnya” buat Negara : kemarahan social. Naudzubillahi min dzalik. Semoga hal itu tidak terjadi.

Hadir dalam diskusi tersebut yakni, Arkeolog & Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyyat, Sejarawan & Pendiri Perkumpulan Betawi Kita, Yahya Andi Saputra dan Praktisi Kedokteran & Pemilik RS Ali Sibroh Malisi, Jakarta Selatan, dr. Sibroh Malisi, MARS.

TAGS : Betawi Covid-19 Kolera Penyakit

This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin

Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/70843/Sejarah-Wabah-Penyakit-di-Tanah-Betawi-Telisik-Cacar-Malaria-Kolera-dan-Leptopspirosis/