SEJAK beberapa pekan terakhir, ada kejadian yang mengusik naluri kita sebagai sebuah bangsa. Pertama, pernyataan anggota DPR Arteria Dahlan (AD) yang meminta seorang Kajati di Jawa Barat dicopot karena memimpin rapat menggunakan bahasa Sunda. Kedua, pernyataan pegiat media sosial Edy Mulyadi (EM) terkait wacana pemindahan ibu kota negara dengan menyebut Kalimantan sebagai tempat jin membuang anak.
Meski ada yang menyebut sebagai suatu framing politik, pernyataan AD dan EM tersebut telah menuai kontroversi. Bukan hanya orang Sunda yang marah atas pernyataan AD atau orang Dayak yang geram dengan pernyataan EM, tapi seluruh warga bangsa Indonesia dibuat resah. Ada kesadaran bahwa ”hinaan” terhadap satu suku bangsa merupakan hinaan kepada seluruh bangsa Indonesia. Sepertinya imaji tentang kebangsaan Indonesia telah mengakhiri sekat perbedaan yang bersumber dari agama dan suku bangsa. Perbedaan bukanlah entitas yang memisahkan, melainkan kekuatan yang menyatukan.
Realitas tersebut sesungguhnya telah melembaga dalam kesadaran berbangsa dan bernegara kita. Sejak dulu kita sudah diberi suatu pemahaman bahwa keindonesiaan kita memang disusun dari keragaman kebudayaan. Sifat alamiah bangsa Indonesia adalah keragaman itu sendiri. Menolak keragaman mereduksi sifat alamiah kebangsaan kita.
Dipilihnya negara bangsa (nation state) sebagai konsep bernegara sesungguhnya dilatarbelakangi kondisi faktual adanya keragaman. Negara bangsa merupakan konsep di mana negara bersifat netral pada semua suku bangsa dan agama. Di hadapan negara bangsa, semua suku bangsa dan agama setara. Tidak ada anak emas atau anak tiri. Semuanya adalah anak emas yang diperlakukan secara setara dan berkeadilan.
Meski demikian, tampaknya kesadaran itu selalu saja mendapatkan tantangan. Baik yang bersumber dari perbedaan suku bangsa sehingga melahirkan primordialisme maupun bersumber dari agama yang melahirkan radikalisme dan sektarianisme. Dalam keragaman suku bangsa dan agama selalu saja tidak bisa dihindari adanya benturan antarsimbol agama maupun kebudayaan.
Simbol agama dan budaya menjadi wilayah yang paling sensitif dan mudah melahirkan berbagai reaksi kontroversial. Sedikit saja simbol tersebut disentuh, relasi antar-suku bangsa dan agama mudah retak. Simbol-simbol itu seperti menjadi katalisator untuk melahirkan berbagai konflik dalam masyarakat yang beragam. Bagi pemiliknya, simbol-simbol tersebut sakral dan tidak boleh dihina, apalagi dirusak. Karena itu, dibutuhkan suatu kearifan luar biasa di antara masing-masing agar setiap unsur mampu melepaskan egosentrisme dengan memberikan penghargaan terhadap kelompok yang berbeda.
Itu bukan pekerjaan yang mudah. Upaya sungguh-sungguh menanamkan kesadaran kebangsaan sudah banyak dilakukan, tapi tetap saja dihadapkan dengan adanya sekelompok orang yang memanfaatkan perbedaan simbol untuk kepentingan tertentu. Selain itu juga menjadikannya sebagai anasir membenturkan masyarakat satu dengan lainnya. Upaya founding fathers memberikan fondasi kebangsaan dengan meletakkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip utama sering dihantui oleh pernyataan dan tindakan yang merusak persatuan. Meskipun sebenarnya tidak besar, kelompok seperti itu akan menjadi ”selilit’ yang merusak nalar kebangsaan kita.
Seperti halnya selilit di gigi kita, jika dibiarkan pasti akan merusak struktur kesehatan gigi. Begitu pun selilit kebangsaan, kalau dibiarkan akan merusak struktur kesadaran kebangsaan kita. Pernyataan menghina simbol keagamaan dan kebudayaan tertentu jelas merupakan praktik berbahaya bagi kepentingan kebangsaan kita. Jika realitas itu tetap saja dilakukan, bahkan oleh elite politik, dan masyarakat kemudian tersulut melakukan aksi di luar kendali meresponsnya, jelas itu menandakan darurat literasi kebangsaan akut. Suatu kondisi adanya kesadaran kebangsaan yang rendah melanda elite politik kita dalam berkontestasi politik.
Urgensi Literasi Kebangsaan
Konstelasi kehidupan kebangsaan yang cenderung memanas belakangan ini menjadi bukti bahwa pendidikan kesadaran berbangsa tetap penting dilakukan. Masyarakat kita, termasuk elite nasional, tetap perlu diberi suatu kesadaran terus-menerus bagaimana memosisikan diri hidup dalam suatu keragaman. Apalagi dalam konteks saat ini, ketika mobilitas sosial begitu tinggi, maka tidak ada ruang yang steril dari pertemuan dengan masyarakat yang berbeda. Di sekitar kita sejak dulu sudah ada warga yang berbeda, bukan hanya soal keyakinan agama, tapi juga simbol kebudayaannya.
Karena ada kelompok lain yang hidup di sekitar kita, setiap warga harus memiliki kemampuan hidup berdampingan secara damai. Kesadaran terhadap nilai-nilai keragaman sekaligus kemampuan menyingkirkan kepentingan ego masing-masing menjadi suatu nilai yang harus terus-menerus ditanamkan. Mengapa kesadaran berbangsa harus dibangun? Tidak lain karena kita masih selalu berproses membangun imajinasi keindonesiaan. Buktinya, selalu saja muncul anasir-anasir jahat yang merusak narasi keindonesiaan kita.
Tidak berlebihan jika Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pengajaran nasional haruslah selaras dengan penghidupan bangsa dan kehidupan bangsa. Pengajaran terhadap anak-anak tidak boleh dicerabut dari alam kebudayaan sebagai warga bangsa Indonesia. Anak-anak kita harus dididik dalam logika keindonesiaan terus-menerus karena merekalah miniatur masa depan kebangsaan kita.
Seorang sosiolog Prancis bahkan menyebutkan bahwa pendidikan (dasar) sesungguhnya lebih berorientasi pada pembentukan karakter bangsa, bukan melulu kemampuan akademik. Tidak heran jika di banyak negara pendidikan itu menjadi tanggung jawab negara. Sebab, di dalamnya ada misi nasional membangun karakter bangsa.
Penyelenggaraan pendidikan sebenarnya memiliki tanggung jawab menanamkan nilai-nilai yang sesuai dengan situasi kebangsaannya. Hampir tidak ada proses pendidikan yang bersifat kontraproduktif dengan nilai kebangsaan. Menjadi wajar jika persoalan literasi kebangsaan selalu menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan karena di dalamnya ada amanat konstitusional yang harus diwujudkan. Bukan hanya di tingkat dasar, bahkan di perguruan tinggi, literasi kebangsaan tetap harus selalu ditumbuhkan. (*)
*) LISTIYONO SANTOSO, Penulis, wakil dekan bidang akademik dan kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Credit: Source link