Ilustrasi Partai Golkar
Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Praperadilan lagi? Itulah kira-kira pertanyaan masyarakat. Kok gak ada kapoknya?
Setelah sukses di praperadilan pertama, Setnov ditangkap KPK. Ia ditahan setelah tragedi “tiang listrik” menghebohkan jagat negeri ini. kali ini drama Setnov masuk episode berikutnya: praperadilan kedua.
Kalau di praperadilan pertama, Setnov berhasil mempopulerkan nama Cepi Iskandar, kali ini, giliran hakim Kusno yang akan jadi terkenal. Siap-siap pak hakim.
Kabarnya, track records hakim Kusno bagus. Tiga pemohon praperadilan sebelumnya ia tolak. Tegas dan penuh wibawa. Bagaimana dengan sidang Setnov? Ini pemohon kelas kakap. Apalagi, kata Fahri Hamzah, sudah dua kali ketemu dan lapor presiden. Tidak main-main, ketemu Pak Presiden.
Saat ini, Setnov masih berstatus Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR. Sah, asli, bukan kawe. Jabatan terhormat dan posisi strategis.
Saat orang bicara tiang listrik, Setnov ajukan praperadilan. Saat Golkar merencanakan munaslub, Setnov kirim surat ke DPP. Bermaterai lagi. Dan ketika pimpinan DPR akan menggelar sidang MKD terkait dirinya, surat Setnov menghentikannya. Tunggu praperadilan! Semua nurut. Sampai disini, langkah Setnov efektif. Ternyata, sisa-sisa kesaktian Setnov masih ada. Wow!!
Sidang pleno partai Golkar memutuskan munaslub ditunda, menunggu sidang praperadilan tanggal 30 November nanti. Begitu juga sidang Majelis Kehormatan Dewan.
Apakah Setnov bisa bebas untuk kedua kalinya? Mungkin saja. Kalau benar ini terjadi, entah berapa lagi tragedi tiang listrik akan berulang..
Setnov, seperti sosok “ubermensch, manusia legendarisnya Nietzsche. Manusia yang selalu mengatakan “ya” pada segala hal dan siap menghadapi tantangan. Jadi tersangka, ajukan praperadilan. Diburu KPK, tabrak tiang listrik dan bisa istirahat di rumah sakit. Ditahan, ajukan praperadilan lagi. Mau dipecat, kirim surat. Gak ada matinya manusia satu ini. Semua masalah ia hadapi dengan langkah efektif. Itulah Setnov.
Setnov bebas, itu sudah biasa. Jangan kaget! Berbagai kasus yang sempat menyebut-nyebut namanya tak mampu menjadikannya tersangka. Mulai dari cassie PT. Bank Bali (1999), penyelundupan 60 ribu ton beras Vietnam (2003), penyelundupan limbah di Batam (2006), proyek PON Riau (2012), sampai kasus “papa minta saham” di PT. Freeport (2015), tak ada satupun yang bisa menyeretnya. Bahasa hukum formalnya: “tak ada bukti yang meyakinkan”. Hehe.
Jika di kasus e-KTP yang oleh publik dianggap sudah terang benderang ini Setnov masih bisa bebas, negeri ini bisa gaduh. Rakyat pasti akan sangat marah. Kepada siapa?
Pertama, rakyat geram terhadap proses hukum. Benar atau tidak Setnov teelibat di kasus e-KTP, rakyat terlanjur yakin bahwa Setnov bersalah. Ini bukan semata-mata masalah hukum, karena proses hukum seringkali bisa ditransaksikan. Tapi ini soal “social perception”. Bukti dan saksi bertaburan di media, pernyataan Nazaruddin cs dan jaksa KPK di persidangan, bagi rakyat, itu sangat meyakinkan. Entah bagi hakim. Rakyat lebih percaya KPK. Lagi-lagi ini soal jejak dan track records.
Kedua, gemes kepada kekuasaan. Tidak mudah menghilangkan dugaan-dugaan liar adanya tangan-tangan yang punya akses kekuasaan ikut campur dan mengendalikan. Pasalnya, Setnov menyimpan banyak peluru di mulutnya. Sekali mulut ini kebuka, banyak peluru muntah dan menyasar banyak nama. Diantaranya ada nama-nama beken. Sejumlah partai besar akan dibuat kewalahan. Membebaskan Setnov akan dianggap sebagai peredam keguncangan partai-partai itu. Tidak hanya “para terduga”, partai-partai pun punya kepentingan menyelamatkan perahunya. Nyanyian Fahri Hamzah akan laku untuk membicarakan soal ini.
Kasus Setnov sangat terbuka buat transaksi kaum elit. Banyak pihak panik dan tergoda. Dalam transaksi berlaku teori pertukaran “do ut des” saya memberi supaya anda memberi. Prinsip yang dipakai adalah “cost and reward”. Saling sandera dan tukar guling sudah sejak lama kecium baunya. Para pemainnya mudah dibaca. Mungkin ini yang membuat Fahri Hamzah geram. Rakyat tentu lebih geram lagi.
Ketiga, kepada partai Golkar.Jika Setnov bebas, Golkar yang paling besar bebannya menanggung resikonya. Kegeraman rakyat akan dibidikkan ke partai tertua ini. Sanksi rakyat yang akan berlaku. Jika ini tak terkendali, Golkar harus siap-siap dihantam “tsunami sosial”.
Jika tragedi tiang listrik saja bisa membuat handphone loading gara-gara kepenuhan gambar meme, komik, video dan tulisan sarat lucu-lucu, bagaimana jika Setnov bebas? Gak usah dibayangkan. Pasti akan banyak hiburan di medsos.
Ibarat kapal, Golkar sedang berlayar di atas ombak besar. Mesin kapal sudah mati, tapi nahkoda tetap ngotot untuk melaju. Padahal, bantuan telah datang. Bantuan itu bernama “munaslub”.
Bukan Golkar kalau tidak bisa menghadapi masalah. Soal ini, Golkar punya jejak sejarah. 1998 Soeharto jatuh Golkar bisa reborn. Pemilu 1999 Golkar tetap dapat 22,44 persen suara dengan 120 kursi di DPR. Akbar dibidik Bulog Gate (2002), bahkan sempat dijatuhi hukuman 3 tahun penjara (4/9/2002), semua beramai-ramai menghentikan Akbar. Akbar kalah, Golkar selamat. Tapi, Golkar masih dapat suara 21,58 di pemilu tahun 2004 dan 14,45 di tahun 2009. Apakah ini akan berlaku buat kasus Setnov?
Setnov tidak sekuat dan sepengalaman Akbar saat itu. Hanya saja, kekuatan di luar Setnov belum kompak. Kekuatannya rapuh, mungkin karena sudah dimakan usia. Atau kasus Setnov belum dianggap terlalu gawat oleh Golkar. Di sinilah kepekaan politik dan “nurani sosial” Golkar sedang diuji.
Jika praperadilan Setnov ditolak, Golkar pasti akan bersikap rasional. Pilihannya, Setnov dipaksa mundur, atau dipecat. Lalu Golkar menyelenggarakan munaslub. Gak ada pilihan lain. Kalau soal ini, semua kader Golkar kompak.
Sebaliknya, jika praperadilan dikabulkan, Setnov selamat dari KPK, lalu ia reborn? Nah loh. Golkar akan jadi taruhan. Kubu Setnov solid. Setnov dikenal sebagai pemimpin yang pandai berbagi, terutama soal kesejahteraan. Sementara para senior tidak satu suara. Ini tanda bahaya. Lonceng kematian Golkar sudah berbunyi. Terompet sangkakala mulai ditiup. Apa yang dikhawatirkan Akbar bisa saja akan jadi kenyataan.
Secara hukum, Setnov bisa saja bebas, tapi tidak secara politik. Stigma “koruptor” pada Setnov terlanjur nempel di benak masyarakat. Selama Setnov jadi ketua Golkar, stigma itu juga akan ditempelkan di partai Golkar. Orang akan bilang: “ketua partai Golkar koruptor.” Kalau dibiarkan kalimatnya bisa berubah ” Golkar partai para koruptor”. Ini jelas tidak benar! Tapi, apa mau dikata. Siapa yang bisa menghakimi stigma? Delik aduan, apalagi praperadilan, tak akan dapat sasaran. Stigma ini tidak akan bisa dihindari. Buktinya, suara Golkar jeblok sampai level 7%. Itu kasus baru dibacakan muqaddimahnya, belum lembar isinya. Lebih celaka lagi kalau ada yang bilang: “Ketua DPR koruptor”. Gawat!
Marwah partai Golkar akan pelan-pelan memudar. Belum lagi jika kader tidak bersatu, lalu ada yang sibuk melakukan manuver. Ini akan jadi bumerang.
Debat terbuka antara ketua DPD Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi dengan ketua DPD Bali I Ketut Sudikerta di kompas tv (23/11) soal perlu tidaknya munaslub menunjukkan kapal Golkar sudah mulai retak-retak.
Melawan hukum lebih mudah dari pada melawan stigma sosial. Hukuman ada batas akhirnya, stigma masyarakat tidak ada ujungnya.
Jalan pintas dan efektif bagi Golkar adalah memisahkan Setnov dari Golkar. Caranya? Munaslub! Apakah ada kekuatan di Golkar yang mampu melawan Setnov?
Tak ada alasan bagi Setnov untuk mundur jika ia bebas dari buruan KPK. Kecuali hasil survei Golkar makin anjlok dan di ambang batas darurat, di bawah 4 persen misalnya. Gelombang baru akan muncul kembali, tapi sedikit terlambat. Proses adu kuat bisa saja terjadi. Konflik internal berpotensi akan menguras energi diantara dua kubu yang berseteru. Dan kekhawatiran Akbar mungkin terjadi: suara Golkar tidak mencapai electoral threshold. Lalu, nasib Golkar benar-benar tamat.
TAGS : Opini Setya Novanto Praperadilan
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/25258/Setya-Novanto-Bebas-Lagi/