Ilustrasi Hukum
Jakarta, Jurnas.com – Pernyataan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) I Nyoman Wara yang menyebut tidak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee dalam melaksanakan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai tidak benar dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
Penilaian itu disampaikan ahli hukum Prof. I Gde Pantja Astawa, kepada wartawan, Jakarta, Jumat (30/8). Menurutnya, berdasarkan asas asersi, auditor BPK harus mengkonfirmasi pihak yang diperiksa atau auditee dalam pemeriksaan.
“Baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigatif,” tegas Guru Besar Hukum Administrasi Negara Unpad itu.
Kata Pantja, pernyataan I Nyoman Wara tersebut bertentangan dengan ketentuan UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK dan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Pantja yang juga mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK menegaskan, dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur, yakni pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK.
Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan. Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi. Asas yang mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa. Yang diperiksa harus dikonfirmasi apapun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK”.
“Maksudnya, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK. Ada ketentuannya. Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (5) UU BPK,” terangnya.
Adapun isi Pasal 6 Ayat (5): Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
“Jadi kalau 3 hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum. Kalau asas asersi ini tidak dipenuhi, saya berani katakan LHP dinyatakan batal demi hukum. Kenapa? Karena norma UU menentukan demikian,” tegasnya.
Sebelumnya, Capim KPK yang berasal dari BPK, I Nyoman Wara, menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara.
Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp 4,58 triliun. Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006 dinyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim (SN).
Berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya.
“Apakah masuk akal dari satu lembaga yang sama dapat mengeluarkan hasil audit investigasi yang saling bertentangan?” ujar Pantja.
Nyoman Wara menjelaskan perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi. Prof. Pantja mengingatkan, “bahwa dari data yang saya miliki, audit BPK 2002 adalah juga audit investigatif, bukan audit kinerja sebagaimana disampaikan Nyoman.”
Nyoman juga mengakui bahwa dalam audit BPK 2017, ia tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa karena dalam audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa. Alasannya karena audit investigatif sifatnya rahasia sehingga berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), tidak perlu dimintakan tanggapan.
Mengenai hal ini, Pantja menjelaskan, SPKN itu terdiri dari Kerangka Konseptual Pemeriksaan dan Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP). Adapun PSP terdiri dari tiga bagian, yaitu PSP No. 100 tentang Standar Umum, PSP No. 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan PSP No. 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan.
Ia melihat apa yang disampaikan Nyoman hanyalah mendasarkan pada PSP No. 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan, paragraf 17, dimana untuk hasil akhir pemeriksaan dalam bentuk investigatif yang dituangkan dalam LHP memang tidak diperlukan tanggapan.
Namun dalam proses pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dikemukakan Pasal 6 ayat (5) UU BPK dan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017, yakni pada Kerangka Konseptual Pemeriksaan, PSP No. 100, dan PSP No. 200, klarifikasi dan konfirmasi wajib dilakukan karena itu merupakan esensi dari suatu audit. Hal ini juga ditegaskan dalam PSP No. 300 paragraf A4 bahwa pemeriksa harus menyajikan LHP secara seimbang dan tidak memihak.
“Bagaimana menyajikan LHP secara seimbang jika tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi terhadap pihak terperiksa? Adalah sangat berbahaya apabila BPK dalam auditnya dibenarkan menyimpulkan pihak terperiksa telah merugikan keuangan negara tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak yang diperiksa,” katanya.
Ia mencontohkan KPK sebagai salah satu objek yang diperiksa BPK. “Apakah KPK mau bila BPK menyatakan bahwa KPK telah merugikan keuangan negara tanpa diklarifikasi dan dikonfirmasi? Jadi apa yang disampaikan Nyoman di depan Pansel tidak sesuai dengan SPKN yang berlaku.”
Di depan pansel Capim KPK, Nyoman telah mengakui bahwa audit BPK 2017 hanya didasarkan pada informasi/bukti dari satu sumber saja, yaitu dari penyidik KPK. Nyoman juga mengakui tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa alias auditee.
“Jadi silahkan disimpulkan sendiri, apakah I Nyoman Wara telah melaksanakan pemeriksaan secara benar, independen, berintegritas dan profesional,” tegas Pantja.
TAGS : Pansel Capim KPK Komisi III DPR
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin